Translate

Sabtu, 22 Juni 2013

Belajar Patchwork Sama Akemi Shibata




Sebenarnya aku sudah ingin mengikuti kursus ini Maret lalu. Tapi karena jadwalnya kurang tepat, aku tak mendaftar. Alhamdulillah, Juni ini Akemi Sensei dari Jepang datang lagi. Dijembatani oleh Mutiara Craft, salah satu suhu patchwork dan quilting yang sudah melanglang buana mengajarkan ilmu yang ditekuninya selama 30 tahun itu untuk kedua kalinya ke Jakarta, atau lebih tepatnya di Stamford Activity Club, perumahan Raffles Hill, Cibubur.

Ada dua hari kursus berlisensi yaitu tanggal 8 dan 9 Juni. Hari pertama dengan biaya 1,7 juta peserta mendapat kit membuat tas dan pouch. Hari kedua, 1,3 juta tanpa kit dan lebih  banyak teori.  Pelatihan berlangsung dari jam 9 pagi sampai dengan 5 sore dengan sekali lunch dan 2x coffee break. Dengan tambahan biaya 400 ribu, peserta , mendapat Patchwork Quilt Text Book yang kabarnya dikeluarkan oleh pemerintah Jepang. Kubilang kabarnya karena aku sama sekali nggak mudheng huruf-huruf kanjinya. Huhuhu.. hanya saja, Akemi Sensei berpesan agar isi text book itu tidak disebar luaskan via internet karena ada pengawasan dari pemerintah Jepang.

Tanpa pengawasan pemerintah manapun seharusnya setiap isi buku yang memang tidak dimaksudkan untuk dijual dalam bentuk elektronik tidak dibagikan apalagi dijual dalam bentuk file. L Sedih melihat betapa pembajakan buku—yang royalty bagi penulisnya tak seberapa dibanding riwehnya saat membuat—masih begitu merajalela di Negara kita. Dan tak ada hukum yang bisa menyentuhnya!


Back to pelatihan. Demi mengirit biaya, dan karena sabtu aku jadwal facial—halah, teteup curcol xixixi—maka aku ambil yang hari minggu. Bangun pagi-pagi, semangat urus rumah terutama masakan buat anak-anak dan suami tercinta, sekitar pukul 7.25 aku sudah bisa menggeber vega merah keluar rumah diiringi lambaian tangan anak-anak dan suami tercinta. Asli, aku bersyukur sekali dikaruniai anak-anak dan suami hebat seperti mereka, yang selalu bisa mendukung emaknya termasuk saat harus membujang ke Surabaya, merawat diri ke salon atau klinik, juga menuntut ilmu.
Perjalanan Tanah Baru-Raffles Hill kutempuh tak sampai sejam. Maklum, Cibubur Junction yang biasa padat masih lancar jaya kulewati termasuk beberapa titik kemacetan lainnya. Belum banyak peserta datang, aku segera ambil kapling di meja paling depan. Jika dulu saat sekolah biasanya paling suka ambil bangku belakang, sekarang pelatihan bayar mahal, sayang dong kalau ambil tempat belakang. Senyampang masih sepi, aku sempatin narsis dulu dengan Akemi. Minta tolong penerjemahnya, yang ternyata tak lain adalah suami Mbak Ira pemilik Mutiara Craft.


Setelahnya, cuci mataaaa!!! Asli, meski belanja sudah kutekan berdasar kebutuhan, tetap saja habisnya lumayan. Maklum, craft patchwork quilting memang termasuk mahal. Ini karena bahan dan alat pembuatnya juga mahal. Misal saja, benang untuk quilting paling murah setelah diskon masih 45 ribu. Yang paling bagus segulung kecil bisa sampai 140 ribu. Dakron felt untuk batting atau lapisan dalam juga mahal. Per meternya sekitar 140ribuan. Itu yang kualitas bagus dari Jepang seperti yang digunakan Akemi. Yang produk local atau import dari Amerika harganya sedikit di bawah itu. Tapi tentu saja ada harga ada mutu. Begitupun kain, jarum, dsb. Salah satu yang kubeli, penggaris khusus sepanjang 50 cm dengan lebar 8 cm harganya 250 ribu. Ini terpaksa karena rotring bekas menggambar manual saat masih kerja dulu pinggirnya sudah mulai gripis kupakai berkali-kali. Waktunya pensiun, Nak. :)

Sedikit tentang penggaris, dia memang harus khusus karena skala atau garis ukurannya didesain untuk memudahkan dan mempercepat pengukuran dan pemotongan bahan. Ketebalannya disesuaikan untuk lebih safe saat digunakan dengan rotary cutter.

Tepat pukul 9 kursus pun dimulai. Dibuka dengan pola Eight Point Star yang terdiri atas bentuk dasar segitiga, bujur sangkar, dan persegi panjang. Usai membuat pola, kami asyik memadupadankan kain yang sudah kami persiapkan sebelumnya sampai waktu coffee break tiba. Hingga makan siang, ada beberapa lagi tambahan pola dan tips menjahit sambungan segitiga.


Usai makan siang, kami sempatkan narsis foto bersama di halaman Tirta Stamford Activity Club. Hingga sore itu, ada 5 pola yang kami pelajari. Buatku pribadi, yang selama ini belajar patchwork dan quilting lebih banyak otodidak dari internet dan buku, meski mahal, pertemuan kemarin worthed lah. Ada beberapa tips dan trik terutama saat membuat produk semisal pouch atau tas yang lebih nendang saat dijelaskan oleh ahlinya daripada dengan membaca di tutorial.


Sayang, cuaca cerah bahkan cenderung panas hari itu harus diakhiri dengan hujan lebat, disertai geledek dan angin kencang. Bahkan sudah dimulai dari Cibubur Junction. Nah, kalau sudah begitu, baru deh membatin kenapa tadi pagi nggak uji nyali bawa mobil sendiri. Hehehe.. masalahnya, text bookku sampai sebagian kebasahan, tembus meski sudah kumasukkan di dalam jaket lalu berlapis jas hujan. 

Tapi nggak papalah. Yang penting sudah dapat ilmu hari itu, dan pulang sampai di rumah meski kedinginan disambut oleh kehangatan keluarga yang masih teteup asyik becanda atau saling menggoda hingga salah satu menangis meski di tengah kegelapan mati lampu.
Thanks hubbyku, Ayaran anak-anakku, Akemi Sensei, dan Mbak Ira. :)

Tanah Baru, 10 June 2013 6.18

Senin, 10 Juni 2013

Mempersiapkan Pemotretan untuk Buku Craft




Bagaimana rasanya menghadapi hari pemotretan materi buku craft? Jujur, seperti hendak maju ujian. Hasil karya kita--yang olehku dan mungkin sebagian besar crafter lainnya dianggap nyaris sama dengan anak-anak sendiri—akan diteropong, dicari angle tercantiknya untuk diabadikan dalam bentuk gambar.  Seorang teman fotografer berkata bahwa kekuatan sepotong foto adalah bahwa dia bisa lebih banyak berkata-kata, bercerita, daripada cerita yang tersusun dalam sebuah cerpen atau novel sekalipun. 

Selain soal kualitas produk atau materi bukuku itu, ada pula satu hal yang membuatku mulas tak karuan, dada berdebar bahkan hanya dengan membayangkannya saja—dan itu masih kurasakan hingga sekarang—yang berhubungan dengan pengalamanku belajar akhir-akhir ini. Soal itu, akan kuceritakan nanti saja ya… Tapi enggak janji juga nding soalnya bisa jadi sensitive bagi sebagian orang. Takutnya dianggap riya.

Oke, back to pemotretan produk, tidak semua penerbit meminta mereka yang melakukannya. Ada penerbit yang terima hasil potret kita sendiri. Untuk Demedia, group Media Kita, mereka biasa meminta produk dipotret oleh mereka dengan alasan keseragaman. Waktunya ditentukan setelah deal dengan editor. Jadi tahapan yang kulalui waktu itu adalah setelah aku mengirim naskah, menunggu sekitar (hanya) 2 minggu untuk ditelpon penerbit dengan kabar gembira diterima untuk diterbitkan di tempat mereka, aku diminta datang ke kantor mereka untuk ‘ngobrol’ menyatukan kemauan 2 pihak.
Mbak Arie dan Mas Ridwan sibuk menata produk

Dari hasil obrolan tersebut, salah satunya adalah deal soal tanggal pemotretan yang artinya sama dengan deadline aku membuat materi, yang jauh lebih banyak dari yang kukirim di naskah. ;p

Lalu hal apa saja yang harus kusiapkan untuk pemotretan selain produk:
1.       Alat dan bahan, karena meski mungkin setiap orang sudah tahu jarum, belum tentu setiap orang tahu perbedaan jarum sulam dan jarum jahit biasa. Apalagi untuk alat dan bahan yang tak digunakan setiap orang misal rotary cutter atau cutting mat.

2.       Alat penunjang atau aksesoris.
Meski disebut aksesoris, dia justru sangat vital dalam pemotretan karena dia berfungsi untuk mengeluarkan ‘nyawa’ dari produk kita.
Jelasnya begini, aku membuat materi salah satunya adalah vas dari kertas Koran bekas. Nah, akan lebih cantik dipotret jika materi yang kubuat itu benar-benar tampak ‘bisa digunakan’ dalam kondisi riil. Artinya, aku harus menyiapkan bunga. Dan karena aku lebih suka yang alami daripada fake, maka malam sebelum hari pemotretan aku menyempatkan diri ke depan pasar Depok Jaya, membeli seikat bunga krisan kuning yang terbukti membuat aura vas koran bekasku keluar.
vas bunga dari koran bekas yang belum kufinishing

Begitu pun untuk teman pelengkap tas belanja yang kubuat, aku sengaja membawa sayur dan buah. Apel, pear, brokoli, wortel, paprika,  stawberi—yang setelah sesi pemotretan tas usai jadi cemilan kami, hehehe—dan sayuran lainnya. Pilih sayur atau buah dengan penampakan yang bagus. Misal di kulkas aku hampir selalu menyetok wortel lokal selain buat masak juga buat makan hamster—curcol, hihihi—tapi untuk pemotretan aku sengaja membeli wortel import yang lebih besar dan orange. Jangan khawatir belanja lebih karena toh ini untuk sekali dan bahan-bahan tadi bisa kita manfaatkan juga setelahnya.

3.       Fisik yang fit karena pemotretan bisa berlangsung seharian atau bahkan 2 hari. Dan itu jelas menguras energy dan emosi  tingkat tinggi. Apalagi jika editornya atau fotografernya, atau bahkan kita sendiri agak-agak perfeksionis. Hehehe…

4.       Alat-alat lain yang mungkin tak masuk daftar alat dan bahan atau aksesoris penunjang tapi juga vital misal selotip, double tape, cutter, dsb. 

Lalu bagaimana kita tahu semua kebutuhan di atas? Tentu saja dengan mempersiapkan tema atau konsep potret yang hendak kita ambil untuk setiap item lalu membuat daftar kebutuhannya.
Misal untuk sepeda dari koran bekas, aku sudah membuat boneka dari kain sebagai pelengkapnya. Jadi tema ceritanya sepasang kekasih—karena sepeda yang kubuat versi laki-laki dan perempuan—sedang pacaran naik sepeda dari koran bekas. Hehehe…
Mala dan prototipe sepeda koran bekas.



Tapi, saran di atas tentu saja kembali ke produk atau materi yang kita buat. Ada beberapa yang mungkin bisa tanpa alat penunjang, misal mainan anak-anak. Untuk yang ini, yang lebih kita butuhkan adalah pemain figuran, seperti di bukuku lainnya yang rencana diterbitkan oleh Gramedia. Yang jadi figuran anak-anakku sendiri, difoto di rumah sendiri, yang memfoto aku sendiri. Hihihi..

Ya, ada kalanya kita harus berpikir secara garis besar, tapi untuk kesuksesan pemotretan, sebaiknya kita mempersiapkan sedetail mungkin. Selamat membuat buku craft, Teman!:)

Tanah Baru, 10 June 2013, 04:11
Thanks to Mbak Arie n Mas Ridwan atas pengalaman pemotretan yang menyenangkan.