Translate

Selasa, 19 Agustus 2014

Ais dan Gontor Putri 2 Mantingan Ngawi


Pemandangan begitu memasuki areal Gontor Putri 1, Mantingan, Ngawi.


 Demi pendidikan anak di tempat terbaik, rela mendirikan tenda dan tidur begitu saja.


ribuan santriwati sholat di masjid GP1


usai sholat asar bersegera ke jadwal selanjutnya.


ada panggilan, semburat dari kamar untuk berkumpul segera


harap2 cemas menanti pengumuman diterima tidaknya


pemandangan kamar Bapenta Putri GP2. Sudah mulai berkurang penghuninya tuh.


jumat pagi, pakai seragam olah raga, bersih2 lingkungan.


dibatasi pagar, nggak bisa seenaknya ketemu anak wedhok. hiks!


pasar kaget di depan koperasi Royal. sarapan di tempat ini lumayan. ada sego tiwul. :)


anak wedhok mbarepku, Izzatul Fatimah Azzahra yang tingginya sudah menyamai mamanya. 

masuk GP2, kelas B. keren oiy! we proud of you, sweety. :)


senyum, udah dapat teman yang klik. kemarin sih masih nangis.


biar capek angkat2 barang segambreng, senyum dulu. alhamdulillah diterima.

KE GONTOR APA YANG KAU CARI? PART 3



Tiket yang mestinya untuk Minggu malam ku reschedule. Kuajukan Sabtu malam jam 8. Semua perlengkapan Ais nyaris terpenuhi. Membayar lemari, SPP beberapa bulan ke depan, uang jajan dan kebutuhan dia lainnya sudah aku amankan di tabungan santriwati. Aku bahkan sempat minta diberi kesempatan mencucikan dua stel pakaiannya dalam waktu yang tersisa.

Sabtu pagi, dimulai dengan pengarahan dari pimpinan pondok GP2 sekaligus pengumuman pembagian kelas. Gontor, menganut system ranking seperti di SMPku dulu. Kelasnya berurut dari B berdasarkan nilainya. Tidak ada kelas A. di GP2, satu kelas berisi 20 anak. Di GP1 satu kelas 30 anak. Nabila, seperti yang diharapkannya masuk kelas D. Jeni kelas F, sedangkan Ais kelas B. Masa nyantri di Gontor untuk jenjang SMP-SMA 6 tahun plus setahun masa pengabdian. Saat masa pengabdian, santriwati bisa ditempatkan di mana saja. Bahkan di luar Jawa.

Jika ingin masa belajar yang lebih singkat bisa mencoba ujian akselerasi untuk langsung naik ke kelas 3 saat kenaikan kelas 1. Syaratnya nilai minimal 8. Nilai di Gontor berbeda dengan di sekolah atau pesantren luar yang bisa dibulatkan atau di mark-up. Begitu kata pimpinan pondok dalam pengarahan beliau saat pendaftaran. Tak jarang nilai 2 bertebaran. Itulah mengapa tak ada kelas A. Semua nilai apa adanya. Ikut kelas akselerasi artinya juga siap belajar dobel karena meski naik kelas 3, santriwati juga belajar pelajaran kelas 2. Kelengkapan buku-buku dari kelas satu baik buku cetak maupun buku catatan bahkan menjadi salah satu point penilaian kelulusan nantinya.

Sekitar jam 9, di saat istirahat yang hanya 15 menit anak-anak datang ke Bapenta. Sarapan nasi pecel beli di pasar kaget. Aku lega, Ais bercerita sudah mendapat teman sekamar  yang klik. Lemari mereka bersebelahan dan dia dibantu merapikan memasang kertas kado sebagai alas di lemarinya. Sehari sebelumnya, kami berbalas kata di secarik kertas.

Kalau aku pengin curhat, curhat sama siapa?
Allah. Tulisku balas.

Aku juga bangga Ais masuk kelas B. Itu menunjukkan kebangkitannya setelah terjun bebas di UN kemarin. Setidaknya, dengan masuk kelas B dia bisa lebih termotivasi untuk mencoba akselerasi, berada di lingkungan yang kondusif. Penganut paham bahwa setiap anak tak bisa disamaratakan, aku setuju dengan system ranking seperti itu. Terlepas bagaimana kelas yang rankingnya lebih rendah memandang kami, dengan teman sekelas yang cara menangkap mata pelajaran nyaris sama kecepatannya, kami jadi lebih termotivasi.

Lalu balik ke awal, mengapa Gontor yang berada sekitar 725 km dari Depok yang kupilih sebagai tempat mempercayakan pendidikan anakku?

Seperti alasan seorang ibu asal Sumatra tinggal di Bintaro yang kembali menitipkan anak keduanya ke Gontor, beliau berkata, “Ini adalah mutiara!”

Air mata meleleh di pipinya. Bibirnya bergetar menahan emosi saat bercerita. Jawaban itu  diberikan saat kutembak, ‘kenapa memondokkan anak nomor dua ke Gontor jika dia sudah pernah punya pengalaman pahit dengan si sulung di lembaga yang sama?’

Anak pertamanya masuk Gontor saat berusia 10 tahun, lulus SD. Anak sekecil itu, dengan disiplin yang ketat, jauh dari orang tua, mengalami masa-masa sulit sehingga akhirnya pindah ke pondok yang lebih ‘ramah’ di tahun kelimanya di Gontor. Belajar dari si kakak, adiknya dimasukkan ke Gontor saat sudah lulus SMP dan sebelumnya sempat mondok khusus penghafal Quran. Alasannya, memberi kesiapan lebih secara fisik dan mental kepada anak. Juga, dengan anaknya sudah hafal sekian juz Al Quran dari pesantren sebelumnya, jalannya untuk mendapat beasiswa ke Kairo atau Madinah menjadi lebih terbuka.

Ya, bagi kami, Pondok Modern Darussalam Gontor adalah yang terbaik, yang paling pas buat kebutuhan Ais. Meski itu artinya kami harus terpisah sekian jauhnya, bisa bertemu lama setengah tahun sekali saat liburan Maulid Nabi sebanyak 10 hari dan 50 hari--dimulai 10 hari sebelum Ramadhan sampai 10 Syawal.
Prinsip Gontor, dia berdiri di atas semua golongan. Dan dia tak mau diatur oleh siapapun. Saklek, kepedean, ya. Itulah kata Pak Kyai. Jika tidak suka, silahkan cari yang lain. Prinsip-prinsip ‘kaku’ seperti itulah yang membuatnya bisa bertahan hampir 90 tahun. Gontor didirikan sejak tahun 1926. Awalnya hanya untuk putra, di Ponorogo. Sekarang sudah banyak cabang dan ada yang untuk putri juga.

Pondok Gontor putra di Jawa ada 5. Kampus putra 1 dan 2 di Ponorogo, GPa3 di Kediri, GPa 5 di Banyuwangi, GPa 6 di Magelang.  Kampus putra di luar Jawa ada 7 tersebar di Lampung, Aceh, Sumatra Barat, Tanjung Jabung Timur, Poso.

Sedangkan Gontor Putri di Jawa ada 4. GP1, 2, dan 3 di Mantingan. GP5 di Kediri. Di luar Jawa ada 3, di Poso dan Riau.

Ke Gontor Apa yang Kau Cari?

Pertanyaan mendasar. Bisa dijawab dengan klise ilmu agama, life skill, atau apa. Tapi hanya Dia yang benar-benar tahu gerak hati hambaNya.

Yang jelas, jika ingin yang enak-enak, bukan Gontor tempatnya. Demikian kata Kyai pimpinan GP2. Tidak enak karena selama 6 tahun santriwati harus puasa hape, tivi, dan semacamnya itu. Tidak enak karena harus sudah bangun jam 3.30 pagi. Sholat tahajud, sholat subuh, belajar, dan sebagainya hingga jam tidur lagi 22.00. Tidak ada tidur siang. Makan seadanya, antri pula. Tidur di lantai beralaskan kasur, berbagi ruangan dengan 30 santriwati lainnya. Belum pelajaran seabrek yang harus diserap. Dalam koridor disiplin yang cukup ketat. Jika tak kuat niat, tak kuat fisik, bisa tumbang tengah jalan.

Hari pertama di GP2, Ais mengeluh banyak sekali peraturannya. Kubilang, peraturan dibuat sudah disesuaikan dengan daya tahan santriwatinya. Tak mungkin untuk mendholimi. Santri baru kaget karena selama ini sudah terlalu lama hidup ‘longgar’. Lalu kuberi Ais contoh-contoh kelonggaran yang kuberikan di rumah.

“Ikuti saja,” saranku. “Nanti kalau sudah terbiasa kan enjoy saja. ”

Perjalanan pendidikan Ais sendiri hingga akhirnya masuk di Gontor sudah melalui pemikiran yang cukup panjang dengan berbagai pertimbangan. Dimulai ketika dia masuk SD negri bersamaan kami pindah ke Depok. Tak ada waktu untuk mencarikannya SDIT. Dan benarlah, aku tak puas menyekolahkannya di SDN. Tahun pelajaran baru, kupindah dia ke MIN Al Azhar Asy Syarif di Jagakarsa. Mengulang kelas 1. Meski judulnya negri, kurikulumnya perpaduan dengan kurikulum dari Al Azhar Asy Syarif Kairo. Jadi raportnya 2. Satu dari Diknas, satu pakai Arab gundul dari Kairo. Jujur, sempat tergoda untuk memasukkan Ais ke sekolah alam bahkan home schooling di awal-awal dia mau masuk SD, aku sempat pula kasihan dia harus menelan segitu banyak materi. Tapi Alhamdulillah Ais diberi kemudahan menjalani itu semua. Bahkan saking enjoynya sekolah, dia bĂȘte banget kalau libur tak ada kegiatan.

Kelas IV, kami sudah mulai kasak kusuk hendak kemana selepasnya MIN. Pilihan sempat jatuh ke School of Universe. Pendirinya Pak Lendo Novo, penggagas sekolah alam Indonesia. Misi visinya salah satunya kurang lebih adalah mencetak pengusaha muslim sebanyak-banyaknya. Namun begitu Ais kelas VI kami berubah pikiran. Ais ingin meneruskan ke Matsasya. Jenjang SMP dari Al Azhar Asy syarif. Masih satu kompleks. Beberapa sahabatnya meneruskan di sana. Pilihan kedua di MTsN 4 Srengseng Sawah. Namun mempertimbangkan faktor pergaulan yang itu-itu saja yang kurang ‘mengayakan’ dia, dan kebersinambungan kurikulum, dua pilihan itu kami coret.

Pilihan selanjutnya Islamic boarding school. Kasak kusuk mencari informasi, kami sempat survey di beberapa tempat. Ada yang langsung membuatku ilfil begitu melihat kamar berantakan dengan botol bekas air mineral begitu saja dibiarkan tak dibuang di tempat sampah sebelum anak-anak liburan. Ya, bagiku bagaimana cara kita memperlakukan sampah, memperlakukan lingkungan sekitar kita, merupakan cerminan siapa kita.

Ada yang sudah bagus dan rapi, tapi terganjal soal bahasa. Bahasa Arab dan Inggris tidak menjadi bahasa sehari-hari. Padahal dua bahasa itu yang menurutku paling penting dipelajari. Dan tak ada cara tercepat dan termudah untuk memperlajarinya selain dengan mengaplikasikannya. Percakapan dalam Bahasa Arab pula yang membuat Ais makin mantab ke Gontor. Malam itu, saat dia diantar survey di GP2 oleh seorang ukhti.

Ijinkan kututup curhat panjangku ini dengan dua hal. Pertama, seperti yang kukatakan terus terang pada Mbak Siti saat kami dalam perjalanan ke pasar di Mantingan, bahwa memasukkan Ais ke Gontor seperti yang kurasakan saat aku pertama memutuskan mengenakan jilbab sekitar 22 tahun yang lalu. Khawatir akan melepasnya suatu saat. Sekarang, khawatir jika Ais tidak bisa bertahan dan keluar di tengah jalan. Nasehat Mbak Siti, berdoa, pasrah, ikhlas, serahkan padaNya.

Ya, kita hanya bisa berusaha. Semua berproses, tidak terjadi dengan tiba-tiba. Bahkan revolusi itu sendiri merupakan sebuah akumulasi dari rentetan peristiwa. Tidak sim salabim. Apalagi kun fa yakun.
Yang kedua, kata seorang sahabat tentang anak semata wayangnya yang dilepas masuk pesantren; tabungan kami hanya seorang.

Ya, anak adalah tabungan, investasi, dalam makna positif. Mendampinginya hingga dewasa, menyempurnakan kewajiban terhadapnya adalah sesuatu yang sudah seharusnya. Selayaknya hujan turun ke bumi, matahari terbit di pagi hari. Tak perlu diungkit, jangan dimintai balasan kelak kita sudah renta. Jika akhirnya anak-anak kita membalas semua yang pernah kita berikan kepadanya; cinta, pengorbanan, materi, perhatian, doa,… semua adalah karena kita telah menabung hal-hal baik padanya. Dan tak ada kemanusiaan yang lebih manusiawi selain yang bersandar pada perintah Ilahi; nilai-nilai agama.

Maka kupilih pendidikan yang berlandaskan agama kepada anak-anakku. Dunia boleh bahkan wajib diusahakan. Tapi dia bisa menjadi ikutan jika kita bersungguh-sungguh mengusahakan akhirat. Sedangkan akhirat tidak bisa ikut begitu saja jika kita sibuk mengusahakan dunia.

Sebagai ibu, aku lebih resah jika membayangkan anakku tergantung pada gadget dengan segala godaan medsos dan dunia maya tanpa batas yang cenderung permisif, atau nonton tivi dengan sinetron yang meracuni, atau kelelahan dengan mata pelajaran umum yang nantinya hanya segelintir saja memengaruhi kehidupan dia selepas masa sekolah. Aku tidak rela membayangkan anakku menggerai rambutnya, berpakaian dengan mode terbaru yang mempertontonkan aurat,  dan berjalan-jalan di mall bersama teman-temannya, nonton bioskop, atau hanya sekedar hang out. Tidak.

Aku lebih rela anakku dipaksa bangun sebelum subuh, menundukkan dahinya di sajadah, mengadukan resah pada Pemilik Semua Jawaban. Aku lebih rela anakku terpenjara di pagar-pagar Pondok, imun dari godaan lawan jenis di masa pubernya, menghafal ilmu agama dan ilmu umum, menyalurkan bakat dan minatnya di kepramukaan, olah raga, seni, dan sebagainya yang tersedia di Gontor. Aku juga lebih rela tubuh anakku yang sudah baligh tersembunyi di balik pakaian dan jilbab dengan model jadul. Bukan hijab modern dengan segala atribut tabarruj.

Semoga  Dia mempermudah langkah kami, menguatkan niat kami. Aminnn…

Tanah Baru, 18 Agustus 2014 20.05

KE GONTOR APA YANG KAU CARI? PART 2



 Jumat, adalah hari libur di Gontor. Pagi, usai mandi, sebelum sholat subuh kusempatkan ke Bapenta meminta dibikinkan tasreh untuk anak-anak. Tasreh itu adalah secarik kertas kecil yang diberikan ke santriwati sebagai tiket dia untuk keluar. Berlaku dalam sehari. Wali yang hendak menemui anaknya harus mendaftar di bagian penerimaan tamu itu, mendaftar minta dipanggilkan nama santriwati, rayon dan kamarnya, asal daerah, kelas, nama wali santri, dan hubungan kekeluargaan. Setelah dicatat di buku petugas akan menyalin ke kertas kecil itu untuk disampaikan ke santriwati yang bersangkutan. Dengan tiket itu mereka bisa bertemu di bapenta. Santriwati tidak diijinkan keluar dari pagar pondok.

Sekitar jam 6 aku melangkahkan kaki ke depan pagar kedua. Berharap santriwati baru sudah boleh menemui keluarganya. Rupanya mereka sedang bersih-bersih. Setelahnya ada pengarahan. Tak sabar aku menunggu. Ingin menangis saja rasanya. Masak mau ketemu anak sendiri begini susahnya. Tapi aku tentu tak sendiri. Wali santri lain juga njrabing—berkerumun berdiri —di depan pagar. Meredakan resah kami mengobrol yang  sangat bermanfaat bagi newbie sepertiku. Hingga pukul 10 lebih baru satu persatu santriwati boleh melewati pos pemeriksaan tasreh. Di masing-masing tangan mereka membawa tas sandal. Tas sandal atau sepatu adalah hal vital di pesantren agar alas kaki mereka aman.

Pindah menunggu di sudut kamar bapenta putri, Jeni dan Nabila akhirnya muncul. Ais yang sejak mukim sudah mendapat teman-teman sekamar yang klik lebih sering bersama mereka daripada dengan ketiga teman satu sekolahnya yang asramanya berjauhan.

Meluncur dari pintu, Ais bersimpuh memelukku. Tangisnya pecah.

“Ada apa?” tanyaku khawatir.

“Teman-teman sekamarku nggak asyik. Seruan temanku di GP1.” Jawabnya berlinang air mata.

Ah, aku lega. Kukira ada sesuatu yang lebih penting. Kubesarkan hatinya, kuhibur. Sekamar 31 anak, masak nggak ada yang klik satupun? Dia juga beralasan banyak teman sekamarnya lulusan SMP, masuk kelas 1 intensif, sejajar dengan 1 SMA. Aku tersenyum, menawarkan sudut pandang baru kepadanya, menawarkan makan. Baru besoknya terjawab kenapa emosi Ais sedikit naik. Tidak biasanya dia cemen seperti itu.  Ternyata, dia sedang PMS. Alhamdulillah, masuk pondok, anakku diinisiasi juga olehNya, menjadi baligh. Sebelum-sebelumnya kami sudah banyak melakukan dialog tentang pendidikan seks. Ais waktu itu sepertinya tak sabar mendapatkan pengalaman haid pertama seperti yang dialami teman-temannya.
Ternyata, meskipun judulnya hari libur, santriwati tak bisa seenaknya berleha-leha. Sholat wajib berjamaah di masjid. Tugas orang tua, masih sama seperti kemarin, melengkapi kebutuhan anak. Karena tak semua barang bisa didapat di satu toko. Di GP2 ada 3 pilihan koperasi. Pertama koperasi di dalam pondok. Koperasi kedua ada di luar, di seberang jalan pesis di depan pondok. Koperasi ketiga, Royal berjarak sekitar 300m ke arah Sragen. Di depan Royal ini kalau pagi ada pasar kaget. Lumayan buat cari sarapan dengan menu di luar kantin Bapenta
.
Di GP1, ada MM, koperasi yang berada di dalam pondok. Selain keempat koperasi itu, di depan pondok banyak toko milik penduduk yang menyediakan kebutuhan santri selain seragam. Seragam hanya dijual di koperasi pondok, tapi seragam bekas ada yang dijual di toko milik penduduk.

Tips dan triks sehubungan kebutuhan santri.

Saat mendaftar, usai tes lisan dan kesehatan, calon santri diwajibkan mukim untuk pembekalan sebelum tes tulis. Peraturan tentang mukim ini disesuaikan setiap tahunnya. Untuk mukim, santri diwajibkan sudah memiliki barang-barang kebutuhan pribadi. Berikut yang bisa disiapkan, plus tambahan dari aku sendiri.
1.       Kasur dan perlengkapannya; bantal, guling, sprei, selimut
2.       Ember dan perlengkapan mandi (sabun  mandi, sikat gigi, odol, sabun cuci, sikat cuci, gayung, shampoo, hanger baju, dsb.)
3.       Peralatan makan; piring, sendok garpu, cangkir minum, botol persediaan air minum.
4.       Quran ukuran sedang
5.       Pakaian;  gamis atau atasan bawahan yang longgar, jilbab segi empat dengan bahan tebal warna putih, pakaian olah raga/training longgar, pakaian tidur 2 pieces bawahannya celana.
6.       Sisir kutu, gunting kuku.
7.       Kosmetik; cermin kecil, bedak, sisir, sabun wajah, obat jerawat, parfum , tissue, cotton bud
8.       Tas sandal, sandal, sepatu pantofel hitam dengan hak 2 cm, sepatu olah raga.
9.       Baju ‘wajib’ ; rok bawahan warna hitam dengan model A line simple, baju gamis putih, jilbab segi empat putih.
1.   Mukena warna putih bahan tidak tipis dan sajadah ukuran standar.
1.   Gembok kecil 3 untuk menggembok lemari pakaian dan kotak sepatu.
2.   Obat-obatan; minyak tawon, minyak kayu putih, habbatussaudah, madu, dll

Berikut perlengkapan tambahan setelah diterima:
1.   Snack; energen, dsb
1.   Map untuk menyimpan kartu-kartu penting
5.   Rak plastic kecil susun
6.   Stroley untuk membantu saat pindahan
7.   Jam tangan kecil, jam weker.
8.   Kertas kado dan isolasi untuk merapikan lemari.
9.   Sampul plastik untuk menyampuli buku-buku baru
0.   Spidol permanent untuk memberi nama semua barangnya.

Setelah diterima, semua perlengkapan itu akan ‘disensor’ oleh ustadzahnya. Sesuai dengan salah satu prinsip Gontor, Simplicity, semua memakai azas kesederhanaan. Untuk lebih menyesuaikan dan tak salah beli, saranku, sebaiknya melengkapinya dengan beli di koperasi atau toko-toko sekitar pondok. Semua ada.
Di pondok, apalagi dengan jumlah santri yang mencapai ribuan, sekamar berbagi 30 anak, yang tak bisa dihindari  adalah penyakit-penyakit yang biasanya berhubungan dengan  kebersihan diri dan lingkungan. Paling ringan ya rambut kutuan itu. Makanya sisir kutu menjadi salah satu benda wajib masing-masing santri. Penyakit lainnya adalah scabies atau orang lebih mengenalnya dengan jarban. Jika dibiarkan bisa sangat merepotkan karena jemari tak bisa ditekuk karena luka-lukanya. Untuk menyiasati, seorang ibu membagi trik dengan cara menuangkan sabun cair anti septic ke dalam air mandi. Tentu saja dituangnya tidak langsung di bak mandi yang besar sekali bersekat-sekat itu, melainkan seember yang digunakan anak untuk mandi.
Mbak Siti yang perawat bahkan sudah membagi copy resep untuk scabies yang didapat dari dokter kulitnya. Obat salep racikan. Tapi kalau mau salep yang sudah jadi juga ada.

Di Gontor, kartu debit juga kartu kredit tidak berlaku. Semua manual, cash. Jadi persiapkan uang cash banyak kalau di sana. Tapi jangan khawatir, kalau kekurangan, di depan pondok ada ATM bersama yang bisa menolong kita. Sedangkan di dalam, ada tabungan santriwati yang bisa diambil sewaktu-waktu mereka membutuhkan untuk beli buku, bayar SPP dan kebutuhan lain atau jajan. Jika kita tak sempat menyambangi, selain bisa titip teman yang sedang menjenguk anaknya atau meminta tolong saudara yang dekat, juga bisa dengan mengirim wesel ke pondok untuk anaknya. Ya, di Gontor, kita seolah kembali ke tahun 80-an. Pakai wesel pos. J

Tentang perlengkapan mandi, usahakan ember tempat menyimpan perlengkapan mandi-cuci tutupnya diberi gembok. Caranya, lubangi salah satu sisi tutup tembus bibir ember. Sambung keduanya dengan kawat. Lakukan sisi seberangnya, lubangi tembus, beri gembok untuk menguncinya. Jika tak ada kawat, hubungkan saja sisi pertama tadi juga dengan gembok kecil.

Saat aku bercerita tentang melubangi ember dan tutupnya untuk digembok, suami berkomentar. “Sampai segitunya?”

Ya. Sampai segitunya. Tapi jangan salah. Tidak semua barang hilang karena diambil santri lainnya. Belum ada seminggu mukim Ais sudah minta dibelikan sisir kutu, sandal, odol, sikat pakaian. Odol karena tercebur di bak dan dia tak bisa mengambil. Sandal hilang bukan karena diambil anak lain tapi karena kecerobohannya sendiri. Di Gontor, jika sandal tak dimasukkan ke tas yang dibawa kemana-mana itu, meletakkannya harus rapi. Jika tidak, alamat dilempar ke arah berbeda oleh ustadzah  atau tukang kebunnya. Itu yang terjadi pada sandal jepit Ais. Maunya biar aman ditaruh di bawah tanaman, tapi justru menyalahi aturan karena tak rapi, disebarlah ke berbagai arah oleh petugasnya. Pasangan sandal dua temannya yang senasib  berhasil ditemukan, tapi dia gagal menemukan sehingga  harus beli lagi.

Begitu pula barang-barang lain. Bisa jadi tidak hilang diambil santri lain tapi sebab kecerobohan anak kita sendiri. Ada tempat dikumpulkannya barang-barang itu, tapi untuk mengambilnya pasti mendapat hukuman dari ustadzahnya. Makanya mereka memilih bilang hilang ke orang tua dan minta dibelikan lagi. Hehe.

Tentang pakaian, kurang lebih sama. Kadang karena lupa atau tak sempat mengangkatnya dari jemuran, oleh santri lain yang membutuhkan tempat menjemur, pakaian itu digeser begitu saja. Atau karena tak pakai hanger, tertiup angin jatuh ke tanah. Tak diambil, jadinya dianggap hilang. Meski tentu, ada saja santriwati yang memang panjang tangan mengambil barang temannya.

Di semua tempat, kita akan selalu menemukan ketidaksempurnaan.  Tugas kita, jika memang tidak bisa mengubahnya seperti di Gontor yang jelas ‘saklek’ tak mau campur tangan orang luar, ya berdamai lah dan menyiasatinya. Salah satu contohnya adalah dengan tips dan trik di atas. Yang jelas, kita harus banyak bertanya dengan mereka yang sudah berpengalaman.

Tulisan part 3, akan bercerita tentang mengapa Gontor yang kami pilih.

KE GONTOR APA YANG KAU CARI? PART 1



Pagi yang tak terlupakan. Di bawah tenda besar, 2000 lebih calon santri berdebar menanti keputusan. Akankah asa mereka menggali ilmu agama dan mengasah life skill di tempat terbaik ini menjadi nyata, atau harus terhenti sampai di sana. Di sekitar tenda, orang tua wali calon santri mungkin bahkan lebih berdebar menanti. Jika anaknya lulus, akankah mereka masuk ke Gontor Putri seperti yang diharapkannya, atau jika tidak, bagaimana? Masuk ke pesantren ‘penyangga’ yang dikelola alumnus lalu mencoba ikut ujian lagi tahun depan, atau pulang ke daerah asal lalu masuk ke sekolah lainnya?

Gontor, system penerimaan santri barunya memang mengacu ke penanggalan Hijriyah. Dimulai Syawal. Jika tahun-tahun sebelumnya ada dua gelombang penerimaan, untuk tahun ini hanya satu saja. Jadi jika sudah tidak diterima tidak bisa mukim di Gontor untuk mencoba gelombang kedua. Hanya ada satu kesempatan di tahun ini plus ujian tulis dan penerimaan di saat sekolah lain sudah mulai KBM makin menambah beban.

“Lha nanti kalau nggak diterima mau sekolah dimana?” Begitulah pertanyaan yang langsung diajukan ke kami begitu tahu Ais belum masuk sekolah manapun sementara di Gontor belum pasti.

“Entahlah. Semoga dimudahkan. Semoga ada jalan.” Jawabku pasrah.

Pemberitahuan Pak Kyai saat pembukaan sebelum pengumuman kelulusan tentang pesantren-pesantren penyangga itu sungguh melegakan. Namun tetap tak mengurangi debar jantung saat satu persatu nomor disebutkan. Dimulai dari yang diterima di Gontor Putri 1 Mantingan.

Bersimbuh di selasar kelas di belakang panggung tempat pimpinan pondok duduk, tubuhku saling bersandar dengan tubuh Mama Ara. Debar jantungnya jelas sekali kurasa. Dan mungkin dia juga merasakan hal sama. Tangan kami yang berkeringat dingin saling erat menggenggam.

Air mata kami sesekali luruh lagi demi ingat pertaruhan ini. Demi harap begitu besar yang kami gantungkan. Air mata itu makin luruh ketika nomor ujian Jeni, Ais, dan Ara dilewati. Seangkatan, alumnus MIN Al Azhar Asy Syarif yang mendaftar di Gontor tahun ini 4 orang putri, 3 orang putra. Seminggu sebelumnya, yang putra sudah pengumuman dan dinyatakan diterima ketiganya di Gontor Putra 1 Ponorogo.

Jeni, mamanya adalah guru BP di sekolah Ais. Ustadzah Tia ini oleh Ais bahkan dianggap sebagai mama kedua, tempat curhatnya di sekolah. Karena belum bisa mengambil cuti, beliau memantau pengumuman by phone. Setiap mendekati nomor ujiannya Mama Ara menelpon. Sementara aku memilih memastikan dengan merekam. Untuk kemudian aku kirimkan via whatsapp ke suamiku juga.

Satu lagi yang masuk adalah Nabila. Aku sempat bertemu dan ngobrol dengan mamanya. Mbak Siti, seorang perawat yang baik hati dan bagian logistik anak-anak selama kami di Bapenta. Beliau paling open (memperhatikan dan menyiapkan) makanan bagi anak-anak. Meski di dapur sudah disiapkan makan, selama masih ada mamanya nginep di Bapenta (bagian penerimaan tamu), anak-anak memanfaatkan setiap kesempatan untuk keluar dengan menemui mamanya termasuk saat istirahat makan siang.

Selesai diumumkan nomor-nomor yang diterima di GP1, kami makin lemas. Keempat nomor ujian anak-anak kami nggak ada yang masuk.

“Selanjutnya, yang diterima di Gontor Putri 2.”

Kami menyimak, ndremimil berdoa, debar di dada makin terasa.

“Selanjutnya.. (ustadz kembali membaca setelah mengambil jeda dari halaman sebelumnya) delapan ratus sembilan puluh enam.”

Alhamdulillah Jeni masuk. Aku dan Mama Ara masih menunggu.

“…seribu dua. Seribu empat…”

Tangisku pecah. Beban berat seolah terangkat dari dada. Berangsur-angsur detak jantungku melambat. 1004 adalah nomor ujian Ais dari 2085 calon santri. Namun untuk sujud syukur aku masih menunggu hingga nomor Ara diumumkan. Dia ternyata masuk Gontor Putri 3. Berjarak sekitar 10 km dari GP1 dan GP2. Total yang diterima angkatan ini 1803. Yang tidak diterima 282 dengan perincian diterima di GP1 600 santriwati, GP2 280 santriwati, GP3 625 santriwati, dan GP5 300 santriwati.

Pemandangan selanjutnya adalah tangis dimana-mana. Tangis bahagia, tangis kecewa. Bahkan ada ibu yang pingsan begitu mengetahui anaknya tak diterima. Pelukan dan kata-kata penghiburan bertebaran. Dan mataku, masih lapar mencari-cari anakku tercinta. Sejak turun dari bis, lalu klekaran di masjid sebelah Bapenta GP1 pas dini hari, hingga paginya pengumuman aku belum bertemu anakku. Malam sebelumnya, teman mamanya menelpon, bilang Ais mau bicara. Tapi begitu kukasih tahu aku sedang di pesawat, padahal baru saja masuk dan duduk, telepon langsung ditutup.

Kutuju tempat berkumpulnya mereka yang diterima di GP2. Di teras asrama Bosnia, diantara santriwati baru yang duduk menunggu pengarahan dari ustadzah, kutemukan wajah hitam manisnya. Kupanggil, dia menghambur ke pelukanku, menangis. “Aku kangen Mama, huhuhu…” isaknya.

“Iya. Apalagi Mama.” Jawabku, lalu menggodanya mengajak pulang karena tidak diterima.
Proses selanjutnya adalah pindahan.

Yang diterima di GP3 dan GP5 di Kediri, disediakan kendaraan dari pondok bagi yang walinya tak membawa kendaraan pribadi. Bagi yang tidak diterima bisa langsung mengambil uang yang sudah disetorkan saat pendaftaran. Lalu jika berminat bisa langsung pula mendaftar di pesantren-pesantren penyangga yang membuka meja pendaftaran. Pesantren-pesantren itu juga sudah menyediakan kendaraan untuk langsung membawa calon santriwati.

Pemandangan selanjutnya adalah santriwati dan walinya yang hilir mudik membawa barang. Kasur, bantal, ember, tas pakaian, dll. Dua diantara mereka yang mengais iba sekaligus salutku adalah seorang ibu. Beliau pindahan membawa barang dua anak kembarnya dari GP2 tempat mukim saat pembekalan ke GP1. Satu lagi seorang gadis kecil--dalam artian sebenarnya--bernama Rosida, dari Batam. Diterima di GP3, tubuh mungilnya dengan penuh usaha menyeret tas koper besarnya, kasur, ember timba, dan dua tas berisi sepatu sandal dll. Berapa meter berjalan salah satu barangnya  jatuh tercecer sehingga dia harus berhenti untuk mengambilnya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dia menaiki jalan yang menjembatani GP1 dan GP2. Semoga ada yang mengulurkan tangan. Ingin sekali membantunya tapi aku sendiri baru balik dari mengambil sebagian barang Jeni. Kedua tanganku sudah penuh dan aku sedang berada di tengah jalanku dari GP1 ke GP2. Sebelumnya, adu ‘kuat’ dengan  Ais membawa barang-barangnya dari asrama Real Maghrib di bagian belakang GP1 ke asrama Damaskus di GP2. Salut untuk anakku. Aku bersyukur sifat keras kepala, tak bisa diam, fisik kuat dan tomboyku menurun padanya, yang sangat-sangat dibutuhkan dalam keadaan seperti itu.  Tentang Rosida yang tak ada orang tuanya yang mendampingi, aku lega dan bersyukur ketika menjelang asar dia kudapati sudah ketawa-ketiwi dengan teman-temannya. Barang-barang sudah aman di kendaraan menuju GP3.

Selanjutnya, adalah tugas wali santriwati untuk memenuhi kebutuhan santriwatinya. Seragam, buku-buku, dsb. Santriwatinya sendiri mulai pembagian kamar, menata barang jika lemarinya sudah datang, dsb.
Benar-benar hari yang melelahkan. Jiwa dan raga. Menjelang tengah malam, kuputuskan menutup mata. Kaki yang pegal sekali seperti habis naik gunung pun minta diistirahatkan segera. Apalagi seorang ibu tanpa bertanya mematikan lampu kamar bapenta putri, menghentikan kegiatanku membaca sembari menunggu Mbak Tia, Mama Jeni datang. Pesawat delay 2 jam. Membuatnya tak sempat bertemu Jeni di jam makan malam. Mengguratkan kecewa di anak nomor 3nya dari 7 bersaudara ini. Jeni bisa dibilang menularkan virus mondok di Gontor pada kedua kakaknya. Karena sejak kelas 2, dia sudah fokus mau meneruskan ke Gontor selulusnya dari MIN. Kakaknya yang nomor 1 masuk di Gontor Putra Ponorogo, yang nomor 2 di Gontor Putri 1. Sedangkan Nabila, putri kedua Mbak Siti, mengikuti jejak kakaknya yang sudah kelas 6 di GP1. Bergaul dengan ibu-ibu seperti Mbak Tia dan Mbak Siti, yang berusaha sekuat tenaga demi pendidikan anak-anaknya dunia akhirat ini sungguh-sungguh mengajariku banyak hal. Terutama kesabaran dan keikhlasan.

Kusempatkan menelpon Mbak Tia, untuk mengetahui dia sampai dimana. Telepon sedang tak aktif atau berada di luar servis area. Kumatikan ponsel, mengirit batere karena kalau mau ngecharge susah di bapenta. Tak ada colokan. Ternyata, setelahnya, Mbak Tia menelpon. Lucunya, beliau ternyata sudah masuk di Bapenta putri pula. Satu deret dengan sisi ruangan kami merebahkan diri. Aku di pojokan dalam, beliau di pojokan luar. Skenario Allah. Kalau tidak missed seperti itu kami bertiga pasti ngobrol lagi sampai dini hari padahal raga sudah menuntut haknya, istirahat.

Anakku, Kamis 14 Agustus 2014 merupakan salah satu hari yang takkan terlupakan di sepanjang hidup Mama. Berdebar menunggu pengumuman pagi itu bahkan melebihi kekhawatiran saat engkau hendak Mama lahirkan. Terimakasih sudah melakukan yang terbaik. Untukmu sendiri , bagi kami. Satu langkah lagi terlampaui. Masih banyak lagi di depan menanti. Mari kita tetap berusaha, selebihnya, serahkan saja pada yang Maha Kuasa. We love you, we proud of you, Izzatul Fatimah Azzahra.Alhamdulillah. 

Tanah Baru, Menjelang ulang tahun kelima belas pernikahan