Translate

Rabu, 29 Mei 2013

Mereka Membutuhkan Kita



Dengan iming-iming memancing di danau, Ranu akhirnya mau turun dari pangkuanku dan keluar mobil. Ustadz yang sebelumnya menjemput kami di depan pertigaan jalan Maligi V kembali menaiki motor maticnya ke rumahnya. Sementara 3 santrinya yang menunggu di pos jaga sebuah perusahaan membantu kami membawa bingkisan sekedarnya lalu menunjukkan jalan.

 Jalan setapak yang jika kering katanya bisa dilalui mobil ini setelah diguyur hujan sepagian jelas tidak memungkinkan untuk diterjang MPV tanpa 4WD. Bahkan kami yang jalan kaki saja beberapa kali harus merelakan kaki terperosok ke lumpur dengan sandal tertinggal dan sulit dicabut. Anak-anak kami gendong, baru jika memungkinkan mereka jalan sendiri.

Sekitar 400m ‘menikmati’ becek jalan, akhirnya kami sampai di lokasi. Seeing is believing. Foto mengenaskan yang kami lihat sebelumnya di hadapan kini menjadi lebih menerbitkan iba. Jika kondisi itu berada di desa, mungkin bisa lebih kupahami. Tapi ini, bisa dibilang masih kota, di sekitar kawasan industri Karawang, dan tak sampai 3km dari areal kompleks pemakaman mewah San Diego Hill yang harganya untuk beberapa kalangan membuat tercengang.

 

 
Istri Ustadz Nana, seorang ibu tua yang ikut menumpang di rumah itu, dan beberapa santri menyambut kami. Ustadz bercerita bahwa dia baru pulang pagi itu setelah melayat ke rumah salah seorang santriwatinya yang  kehilangan ibunya. Obrolan bersambung tentang bagaimana awalnya Ustadz mendirikan pondok pesantren yatim itu. Dulu, dia bergandengan tangan dengan salah satu ormas Islam melakukan pembentengan terhadap aksi pemurtadan. Lalu berkembang sampai akhirnya beliau yang awalnya diamanahi mengurusi sebuah pesantren memutuskan keluar lalu total di tempat yang sekarang. Bahkan karena merasa sudah cocok, santri yang semula mondok di sana ikut beliau di tempat yang baru berjalan sekitar setahun ini. 

Di pondok pesantren yatim dan duafa Batu Koneng—yang rencana ke depan akan dibentuk yayasan dan diberi nama—Ustadz Nana dibantu dengan seorang ustadzah memberi pengajaran kepada 10 santri tinggal dan 5 santri kalong (tidak tinggal). Dari 10 anak yang tinggal itu 6 adalah laki-laki dan 4 perempuan yang salah satunya ibunya baru saja meninggal. Beberapa anak itu diselamatkan dari ‘rumah’ mereka di pinggiran pantai yang kondisinya jauh lebih buruk dari keadaan kobong yang mereka tinggali sekarang.

 Anak-anak itu juga bersekolah di jenjang SMA, SMP, dan SD. Karena jarak ke sekolah yang lumayan jauh, tiap harinya Ustadz membutuhkan sekitar 25 ribu untuk ongkos transportasi mereka ke sekolah. Itu belum kebutuhan lainnya, terutama yang mendesak makan sehari-hari juga kobong/ tempat tinggal untuk santri perempuan.

Begitu kami datang, ada 4 bangunan yang menyambut kami. Yang pertama mushola kecil, lalu rumah semi permanen yang segera kami kenali sebagai rumah ustadz yang sekaligus menampung  salah satu santri. Bangunan ketiga, membentuk huruf L menghadap ke mushola yang sudah permanen, adalah tempat tinggal untuk santri perempuan dan laki-laki. Bangunan semi permanen dari kayu, bamboo, dan asbes ini berpintu dua dan hanya disekat kain di dalamnya  untuk memisahkan tempat tidur santri laki-laki dan perempuan. Dengan ukuran sekitar 6x3m, bangunan ini hanya berisi karpet lusuh, beberapa lemari pakaian, buku-buku, dan kasur tipis. Setumpuk selimut pemberian seseorang yang menginformasikan ponpes ini kepada kami terlipat rapi di atas boks. Ada sedikit tanah terbuka di samping mushola, yang rencana Ustadz hendak dimanfaatkan untuk tempat tinggal santri perempuan. Sudah ada beberapa balok kayu yang terkumpul, tapi jelas masih sangat kurang untuk mendirikan sebuah bangunan semi permanen sekalipun.

 

Satu bangunan lagi adalah kamar mandi, berada agak ke atas nyaris sejajar dengan rumah utama. Berada di atas lahan milik perhutani, sumber air bersih yang mereka dapatkan berasal dari danau yang berjarak sekitar 50 m dari rumah. Dengan bantuan pompa yang ternyata juga baru mereka dapatkan dari pemberian seorang dermawan, air danau kecil yang saat itu terlihat keruh dialirkan ke kamar mandi. Sedangkan untuk keperluan masak dan minum, mereka membeli air galonan. Ditotal, untuk kebutuhan sehari-hari meliputi BBM genset penerangan di malam hari—untuk listrik mereka bergantung pada genset-- transportasi, air gallon, beras,dan  lauk-pauk ponpes itu membutuhkan sekitar Rp. 3.800.000,-/bln. 

Tengah kami berbincang, Yasmin, anak kedua kami yang dua hari sebelumnya berulang tahun kelima menyeletuk,” Ini rumah ya?”

Kami kontan tertawa. Lucu, getir.

“Lho, emangnya kamu kira dari tadi ini apa?” tanyaku yang dijawabnya tersipu.

Istri ustadz menimpali, “Kaya kandang ya?”

Aku mengerti kebingungan Yasmin. Karena saat kami di desa buyutnya di Blitar, rumahnya bisa dibilang permanen dengan dengan batu bata. Berbeda dengan ponpes itu yang dari kayu dan bamboo serta berlantai tanah. Bagian dapur bahkan sampai becek karena atap yang bocor.


Menyedihkan, tapi  itu adalah kenyataan. Bahwa hanya berjarak sekian kilometer dari kemegahan yang disediakan bagi orang yang sudah meninggal, ada tempat yang tak  dikira sebagai rumah oleh anakku Yasmin, yang diitinggali sekitar 20 jiwa. 

“Semua ada porsinya,” kata suamiku malam itu ketika kami ngobrol dan aku membandingkan gaya hidup temanku yang berkecukupan dengan mereka yang bahkan masih pada taraf memenuhi kebutuhan pokok saja kesulitan.

“Ya, itulah kehidupan. Itulah mengapa Dia menciptakan ada yang di atas ada yang di bawah. Ada yang harus memberi ketika ada yang sangat butuh diberi.” Timpalku.

Jadi, bersediakah Anda, yang merasa berkecukupan untuk melakukan perniagaan yang untungnya selain dunia adalah akhirat? Caranya gampang, sisihkan saja sedikit rejeki Anda, donasikan melalui rekening BRI no 7664-01-000746-53-0 an. Darna NS. Kontak yang bisa dihubungi, ustadz Nana 0857 1916 6034.
Hidup adalah pilihan. Termasuk pilihan untuk hati terketuk dan berbuat sesedikit apapun yang kita mampu, atau abai dan menutup mata pada sesama yang sangat membutuhkan uluran tangan kita.

Tanah Baru, 28/05/’13 07.02

Senin, 20 Mei 2013

Kopdar IC, Ragunan, 19 Mei 2013



Minggu 19 Mei itu sudah kami tunggu-tunggu. Bukan hanya karena kami rindu jalan-jalan di tengah suasana segar pagi di Kebun Binatag Ragunan, tapi karena ada event yang amat menyenangkan. Itu adalah kopdar dengan teman-teman Indonesian Crafter atau biasa disingkat IC.

Banyak sekali group bermunculan di facebook, namun hanya beberapa yang sanggup membuat perhatianku tersita. Salah satunya adalah IC. Bukan hanya lantaran ketertarikan pada dunia sama; kerajinan tangan, tapi karena di group itu aku menemukan komunitas yang asyik dan seru. Asyik karena kami bisa berbagi inspirasi dan informasi, seru karena kami bisa saling menyemangati. Setidaknya, itu yang kurasa saat ini. Di bawah ‘asuhan’ mbak-mbak admin yang baik hati dan suka menolong serta tak sombong, aku merasa nyaman di sana. Salah satu eh salah dua yang menjadi ujung tombak acara pagi itu adalah Miss Chesiria Tattia dan Mbak Dini. Satu lagi admin cantik nan ramah yang pagi itu rempong dengan si bungsu Nafisah, adalah Mbak Nuning.

Rencana acara dimulai pukul 7.30. Kami berencana berangkat jam 7. Tapi baru bisa berangkat sekitar jam 7.45. Turut bersama kami sekeluarga Mbak Lia Red Scralet. Sampai di lokasi, sudah ada beberapa yang hadir. Miss Chesi dengan senyum ramah dan body langsingnya segera kukenali. Eh, tepatnya beliau dulu yang menyapa. 

Awalnya, meeting point ditentukan di Children Zoo. Tapi karena sedang ada renovasi, dialihkan ke taman di depannya. Sementara Miss Chesi kontak-kontakan dengan member lainnya, aku menuju tikar-tikar yang digelar. Tadaaa!!! Mbak Nuning yang cantik datang fullteam, minus Shiro dan Mashumi yang  ditinggal di rumah saja. Sudah ada pula si anak kos Ika Motemanika, dan beberapa yang aku baru ketemu pagi itu.
Sambil nyemil-nyemil—setelah kami sempat mengambil space lain dan menikmati bekal sarapan yang kubawa—miss Chesi membuka acara dengan perkenalan lalu tukar kado. Dan aku, mendapat pouch cantik dari Eno Hayano Handmade. 


Agak surprise juga karena bukunya tentang pouch aku pinjam dari penerbit Demedia, yang berencana menerbitkaan bukuku tentang craft reuse and recycle. Mbak Arie, editornya sempat cerita banyak tentang betapa ‘perkasa’ si langsing ini bawa-bawa mesin jahit kesayangannya dan tetek bengek buat pemotretan, naik krl. Wow! Ternyata,pengakuan si Eno, efek dari keperkasaan itu adalah pundak yang nagih pijat setelahnya. Hehehe..

Usai tukar kado, kami main game injak balon. Ada 5 team dengan masing-masing terdiri dari 2 personil. Partnerku adalah Ika si Motemanika. Dan Alhamdulillah kami juara 4. Nggak papa, semua juara dapat hadiah kok. Dan hadiah yang kemudian kubawa pulang itu berupa buku cerita Bob the Builder. Ranu antusias sekali demi melihat gambar-gambarnya tentang alat berat. Mobil crane, excavator, dsb. Buku yang sempat aku read-aloud sebelum tidur dan menuai tepuk tangan dari kedua krucilku itu kemudian dikeloninya. Alhamdulillah, thanks Miss Chesi. :)

 
Rehat, ngemil sembari berbincang, Mbak Dini cantik yang pagi itu ditemani soulmatenya menyiapkan game berikutnya, mengambil karet di atas piring yang ditaburi eh dikubur dengan terigu dengan sedotan.  Kembali aku berpartner but not in crime—ingat Elang n pussnya—dengan Ika, dan kali ini team kami bertambah dengan Bang Avi, sulung duet Mbak Nuning-Mas Ian, dan kakak Nafisah alias si nomor 3. Maaf, aku lupa namanya. Ingatnya kepala sama buntutnya doang. Hehehe…Dan kali ini kami juara 2. Juara 1, keluarga kompak Mbak Finda—semoga nggak salah nama. Makan-makan lagi, ngobrol lagi, nggak terasa udah sekitar jam 11 siang. Diputuskan jalan-jalan ke pusat primata. Tapi karena ada acara ke rumah teman, kami langsung cabut pulang setelah sesi foto dan cipika cipiki selesai.

 

Capek, tapi senang kami melaju ke Depok Maharaja di Sawangan, ke rumah salah seorang teman komunitas Zafira, ZIC. Semoga silaturahmi kami hari ini mendapat keberkahan selain rasa capek tapi senang itu. Amin…

Tanah Baru, 20 May 2013 05.13

Jumat, 17 Mei 2013

Teman dan Kesan yang Mereka Tinggalkan



Sebenarnya, selain Hesti, ada beberapa nama yang sangat ingin kutemui sosoknya di Temu Kangen Arek Cewek STM Perkapalan Sda Sabtu lalu itu. Bukan karena mereka sedemikian dekat hingga bisa dikatakan sahabat, tapi karena beberapa sisi kehidupan mereka sempat bersinggungan denganku. Ibarat dua  lingkaran ada area arsiran yang tercipta antara kami berdua.

Yang pertama ingin kupeluk sosoknya adalah Ester. Seperti halnya Hesti, aku begitu berharap bertemu sampai tak berani membayangkan. Takut kecewa. Meski memang kemudian aku harus kecewa. Dia yang sempat konfirmasi datang ternyata tak muncul sampai detik terakhir. Hanya memalui telpon dia ada, lewat Yani yang bicara dengannya.

Mengapa aku begitu ingin bertemu dengannya? Arsiran lingkaran kami itu bernama kesamaan sifat tomboy. Di angkatan kami dulu, STMN Perkapalan angkatan kedua, ada 3 orang yang langsung kelihatan ‘nglanangi’. Itu adalah aku, Siwi, dan Ester. Itu karena pilihan potongan rambut kami yang cepak habis. Menjelang kenaikan kelas 3, aku dan Siwi ‘insaf’, lalu mengenakan jilbab. Insaf yang kumaksudkan di sini adalah hanya soal tongkrongan luar yang nglanangi. Attitudenya, masih teteup… susah kalau harus lembut kemayu medhoki seperti Ita atau Hesti. Sedangkan Ester, masih tetap setia dengan rambut cepaknya hingga lulus. Meski disbanding aku dia yang manis jelas langsung ketahuan ceweknya, tak seperti aku yang gendernya sempat menipu beberapa orang yang baru bertemu.

Melihat foto Ester di akun fesbuk teman sekelasnya saat reunion kelas beberapa saat lalu, tiba-tiba membuncah rindu. Ciee… aku ingin tahu bagaimana kabarnya sekarang karena dia termasuk beberapa orang yang tak masuk kerja di PT Pal Ind. Setahuku dia pulang ke kampong halamannya di Tuban, dan berkeluarga.

Berencana menghubunginya, ternyata beberapa hari lalu dia yang menghubungiku lebih dulu. SMS dan telpon kami, kemudian lancar jaya. Sayang sekali, dia memilih tak mempunyai akun fesbuk, tak menginstall whatsapp di gadgetnya, atau media social lainnya. Pilihan sikap yang bolehlah diapresiasi meski itu berarti aku tak bisa lebih mudah melihat update kondisi terkini. Yang kusuka dari Ester, anaknya apa adanya. Seperti halnya Hesti atau Yessy, tak ingin jaim di depan orang lain. Obrolan kami berlanjut bahkan sampai soal tunggangan alias mobil. Dasar nglanangi. Thanks for your support, dear… :)

Selain Ester yang jadi juragan kayu, teman lain yang ingin kutemui adalah Ery. Jika Ester termasuk anak yang ‘malu bertanya sesat di jalan’ hingga memilih masuk joiner alias interior kapal, maka Ery sebengkel dengan Ester, jurusan boat atau kapal non baja utamanya kayu. Cewek asli Krembung Mojokerto ini bersinggungannya denganku selama beberapa bulan kami seranjang. Ciee… meninggalkan Ita yang masih setia sama rumah dan keluarga Pak Munandar, aku mencari partner kosan baru di daerah Pucang, di rumah Bu Kaji—panggilan slank untuk orang yang sudah haji. 

Setiap jurusan selalu memiliki stereotipnya sendiri. Las, jelas urakan. Mesin, kadar ndableg dan urakannya satu level di bawah arek las meski di angkatanku sama-sama tak ada murid ceweknya. Ship atau konstruksi kapal baja agak tinggi hati. Listrik, jaim. Boat, menarik diri, dan joiner, yaa gitu deh… nggak pede maksudnya. Harus jujur, mereka sepertinya merasa hanya menjadi tukang kayu. Padahal aslinya seorang interior desainer kapal pun sama berharganya dengan perancang kapal di bidang lainnya. Hanya saja, tahapan awal mereka memang harus belajar perkayuan termasuk jenis-jenis joint dan sebagainya. Itu yang mereka tak siap mental kemudian merasa kurang berharga. Atau menurut pengakuan seorang teman yang entah dia jurusan joiner atau boat, perasaan itu karena mereka merasa golongan madesu, masa depan suram (eh sukses). Halooww… posisi menentukan prestasi, Bro. Bukan jurusan.

Tentang jurusanku sendiri.. Gambar Rancang Bangun Kapal atau lebih dikenal sebagai Desain, ehm (!, ada yang nyumbat di tenggorokan nih ;p) stereotipnya adalah nafsi-nafsi alias rada individualis yang biasanya merupakan efek dari kecerdasan. Masak sih? Iya. Buktinya, kelasku terkenal sebagai kelas yang bersih contek-mencontek. Yaah… setidaknya tak semua lah. Ada 2 orang yang langganan mencontek saat ulangan di kelasku. Beberapa lainnya melihat kebutuhan, termasuk aku salah satunya. Tapi sejak ketahuan pak wakepsek, aku tobat mencontek tujuh turunan. Maka sangat nelangsalah seorang siswa mesin yang dapat jatah kursi di kelas kami saat USB, Ulangan Sumatif Bersama. Kelas kami nggak sekompak kelasnya, katanya. Tobat dia sama kami yang nunduuukkk aja saat ulangan, sibuk dengan jawabannya sendiri-sendiri.

Oke, back to topic Ery, aku tak ingat apakah dia kemudian meninggalkanku untuk bersama Emma, atau terus pulang dan nglajo—pp-- rumah sekolah yang lumayan jauh. Yang jelas, seseorang yang menemaniku kemudian adalah dia yang ada dalam daftar yang ingin kujumpa untuk urutan 3.

Trio Nitta namaya. Asli sama dengan Ester, Tuban. Kalau pulang dari mudik, dia suka membawa kecap Tawon, tuak, dan sesekali apa itu namanya, buah yang mirip kolang kaling tapi lebih besar. Banyak dijual di sepanjang jalan masuk kota Tuban. Aku sering mampir dan membelinya dalam perjalanan mudik dari-ke Pati-Surabaya.

Aku tak ingat berapa lama kami bersama, hidup seranjang, berbagi meja rias yang jadi meja belajar, ngrasani ibu Kos dan berbagi hati kepada Mbah, yang masih saudara ibu kos yang membantu-bantu di rumah itu, minta dipijiti beliau sembari nonton tivi, atau gantian giliran nyuci.

Jika sebelumnya aku ditinggal pergi Ery, gantian Nitta yang kemudian tak setia, meninggalkanku dalam kesendirian kamar. Hiks! Tapi asline seneng juga sih bisa menguasai ranjang sendirian. Hahaha.. juga bebas gila-gilaan sendiri, termasuk galau mencari jati diri lewat asap rokok, patah hati diabaikan kakak kelas yang kutaksir berat, sampai kemudian mendapat hidayahNya, tobat dan berjilbab.

Nitta, kutahu kemudian tinggal di Malang, sama suami tercinta dan keluarganya. Sayang, reunion kemarin doi nggak datang. Tapi tak apalah, semoga di pertemuan berikutnya, mereka, aku juga, bisa dipertemukanNya.
Sebenarnya masih ada beberapa nama yang ingin kutulis. Tapi karena tugas sebagai ibu sudah memanggil-manggilku, maka cukup sekian dulu. Takut bosan juga bacanya kalau kepanjangan cerita. 

Teman lama, sosok dan bagaimana interaksi dengannya, sampai kapanpun akan tetap menjadi cerita, kenangan terindah yang tak akan pernah terlupa. Mereka turut mewarnai kita, membentuk kita menjadi sekarang ini. Semoga semua diberi kemudahan olehNya dalam menjalani kehidupan ini. Semoga semua bahagia, dalam apapun dan bagaimanapun skenarioNya. Amiin…
Love you all gals, muach! :)

Tanah Baru, 17 May 2013 05.19

Rabu, 15 Mei 2013

Narsisnya ZICer di Kopdar

ZICer (sebutan untuk anggota Zafira Indonesia Community) memang selalu narsis abis. Termasuk sapi-sapi angonannya. Eh, sapi itu bahasa gaul dari mobil chevrolet Zafira yang menyatukan kenarsisan kami. hehehe..
Di bawah ini adalah beberapa foto dari bukti kenarsisan itu. Berlokasi di Coatesville, Kota Wisata Cibubur.










Temu Kangen Arek Cewek STMN Perkapalan Sda



Sekitar jam setengah sebelas siang aku menjejakkan kaki di bandara Juanda Sidoarjo. Setelah dua setengah jam sebelumnya suamiku tercinta dan dua krucils kami melepasku di bandara Soetta Tangerang. Andai si sulung Ais tak ada les piano, paling dia akan nginthil juga. Maklum, kemana-mana kami biasa berlima. Kecuali untuk moment spesial siang itu, Sabtu 11 Mei 2013, di rumah makan Rumadi Gayung Sari. Aku harus pergi sendiri, membawa sebongkah besar rindu dan segunung asa bertemu teman seperjuanganku. Ya, masa STM bagi kami bukanlah satu titik di milestone kehidupan kami yg tanpa arti. Dia adalah rentang usia luar biasa, yang ikut membentuk kami hari ini. Dan siang itu menjadi saksi, meski matahari memanggang bumi, yang kami rasa hangat saja. Hangat oleh peluk cium dan sapa, serta cerita tentang 20 tahun jeda yang memisahkan kami semua.

Sedikit keresahanku tentang transportasi terelai manakala my bbf, best best friend, pinjam istilah dr anak baru gedeku, menawarkan menjemput dan mengantar kemana aku mau. Love u much, sweety Yessy. :-) Dan dia menepati janji. Dengan Mio dan gamis strip hitam putih serta jaket bahan flanel, si cantik putih yang msh tampak berusia 20-an itu menepi menanti di pintu keluar bandara.

Selain sering bertukar kabar via whatsapp maupun telp dan sms, sebelumnya, dalam sebuah urusan di Jakarta, Mama Aira pernah menginap semalam di rumah. Itu sekitar seminggu setelah kami bertemu di perjalanan ‘mbujangku’ ke Surabaya bulan November 2012. Pertemuan pertama kami setelah 8 tahun tak bertemu semenjak aku resigned dr Pal Desember 2004.

Sempat salah arah, akhirnya kami tiba di lokasi. Sudah ada beberapa teman yg datang. Yulita, Emma, Woro, Yuli, Sri, Dian, Mbak Winda, dan... Eng ing eng... Hesti! Yg terakhir ini, satu lagi bbf yang kurindu sampai tak berani membayangkan dia datang saking khawatir menelan kekecewaan. ;p

Pesan menu, sholat dhuhur dulu, menyela cerita yang kami bagi bersama. Lalu satu persatu teman yang lain datang. Susiana yang sudah baik hati dan tidak sombong melayani kecerewetanku soal ticketing. Thanks dear…J Dwi Yani dengan duet gokilnya Nunuk yang masih setia dengan hobi dan berprestasi sebagai penyanyi, juragan asuransi yang dapat passive income 60 juta dan jalan-jalan ke Bangkok gratis mbak Eny Laili, Siwi mama Gangga yang melarikan diri dari tamu-tamu di rumahnya demi bertemu kami, juga Anis Yuniati yang seingatku kerja di travel agent.

Tak banyak yang datang dibanding pertemuan yang pertama, hanya sekitar 16 orang. Tapi itu tak mengurangi keasyikannya. Apalagi buatku yang terpisah sekitar 800 km jauhnya. Usai kenyang makan, maka sambil leyeh-leyeh kami berbagi cerita. Beberapa masih setia pada PT Pal Indonesia merdeka!, beberapa mengais rejeki di tempat lainnya, satu ngurus anak dan main-main sama hobi—ini sih aku, hehehe—beberapa menjadi single parent, beberapa masih single, dan beberapa settled berkeluarga. Menyimak  satu per satu cerita mereka, betapa aku kembali harus mengakui, hanya Dia sehebat-hebatnya sutradara. Fase malam-siang tangis-tawa tiap manusia begitu uniknya.

Ada perjumpaan ada perpisahan. Maka menjelang sore, meski dengan berat hati, temu kangen ini harus kami akhiri. Cipika cipiki lagi, foto-foto, selesai. Satu persatu kami meninggalkan pelataran Rumadi, meneruskan agenda menjelang malam. Beberapa janjian hendak ke Tulungagung, beberapa kembali ke keluarganya, dan aku… curhat lagiii!!! J

Kembali dibonceng bbf cantikku, kami dikuntit Hesti menuju Royal Plasa. Menuju foodcourtnya, memesan menu es campur, kentang goreng tertimbun parutan keju, tahu goreng, dan sushi, kami meneruskan perbincangan. Menu yang lebih nikmat dan sehat bagi jiwa yang kami santap kemudian adalah tentang keluarga dan romatikanya. Detail rasanya, rahasia untuk kami bertiga. Hahaha..

 

Andai tak harus segera ke bandara, paling kami bisa semalaman di sana. Tapi jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Pesawat yang akan mengantarku pulang take off jam 21.30. Maka meski berat hati kami harus meninggalkan tempat yang menjadi saksi betapa seorang manusia, perempuan, adalah makhluk yang butuh bercerita, butuh dicinta dan mencinta, serta butuh didengar resahnya.

Melepas Hesti untuk kembali ke rumahnya yang nyaman di dekat Kodam, aku dan Yessy kemudian meluncur ke Juanda. Seperti siang tadi, kami mengambil rute Waru. Meski sempat salah ambil jalan dan bertemu dengan banyak muda mudi pacaran di bawah jalan tol Waru, Alhamdulillah kami sampai dengan selamat di bandara. Aku tahu, sebanyak apapun ucapan terimakasihku tak  kan cukup untuk membalas kerepotan Yessy mengantar jemputku hari itu. Thank you soooooo much, dear… May God bless you.


Pulang ke Depok yang tak sepanas Surabaya hatiku penuh bunga. Meski mata mengantuk kurang tidur—saking excitednya seperti anak kecil mau ke kebun binatang pertama kali—tapi isi kepalaku bergolak bagai ombak. Ciee…lebay mode on ini mah. Hehehe..

Menghidupkan gadget begitu sudah sampai di gedung bandara Soetta, sms dari bapake anak-anak masuk. Dia memintaku menunggu, sedang dalam perjalanan menjemputku. Oh God, thank You sooo much mengirimiku lelaki gentle ini sebagai suami, sahabat, kekasihku. Alhamdulillah. Tak lama menunggu, ksatria bersweater abu-abu menunggang Zafira hitam itu muncul di hadapan. Membawaku kembali ke pangkuan keluarga yang menanti, pulang ke rumah yang hangat dan nyaman. Yang special kurasa adalah kami hanya berdua, berbincang sesekali kutinggal main gadget sepanjang perjalanan. Andai nggak ngantuk dan capek, ingin rasanya kuajak dia mampir ke café 24 jam, pacaran. Secara dia tipe family man yang sukanya kemana-mana ngajak krucils serta padahal si emak maunya berdua saja. Hehehe…








Maka, begitulah akhirnya. Happy ending untuk semua.
Aku lelap di pelukan kekasihku, membawa bunga mengembang warna-warni dari pertemuanku dengan sahabat-sahabat lama, sembari sesekali membayangkan keasyikan bertemu teman-teman baru, komunitas mobil Chevrolet Zafira esok harinya.

Alhamdulillah.
Thanks to all yang membuat asaku menjadi nyata. :)

Tanah Baru, 15 Mei 2013 06.30