Translate

Rabu, 08 Januari 2014

Hari Ibu, Iklan PAN, dan Status Teman

Pagi ini, yang berhamburan di status teman adalah ucapan selamat hari ibu.
Pagi ini, yang membuncah di hatiku adalah rindu, pada sosokmu; Bu'eku

Beberapa hari lalu, ada yang meradang di hatiku. Pasalnya, melalui statusnya, seorang teman seolah mengolok-olok salah satu kegiatan seorang ibu, yaitu menjahit. Secara garis besar, dia nyinyir mempertanyakan penggambaran seorang ibu yang sedang menjahit di iklan PAN. Menurut dia, hari gene, penggambaran sosok ibu harusnya yang memegang BB atau apalah yang lebih keren dan modern. Aku yang jarang sekali menonton televisi dan baru melihat iklan itu semalam justru makin emosi.

Berbaik sangka bahwa dia hanya tak suka dengan PAN sehingga mencari titik yang dianggapnya tak relevan dengan kekinian di iklan, aku menanggapi statusnya dengan senyuman.

Berbaik sangka bahwa dia hanya belum paham betapa berat profesi sebagai ibu, sesederhana apapun job descriptionnya semisal menjahit robekan di baju, aku berkomentar menjahit justru merupakan salah satu passion-ku dan aku sangat enjoy dengan itu.

Berbaik sangka bahwa dia tak memiliki ibu yang bisa sekedar memasang kancing apalagi menjahitkannya celana aku justru jatuh iba.

Lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, seorang ibu selama beberapa lama, setiap malamnya, menjahit rok seragam untuk ketiga anak perempuannya. Jangan dibayangkan beliau bisa tata busana karena telah kursus sementara SR saja tak lulus. Beliau melakukan itu karena tak mampu beli seragam jadi.


Beliau memicingkan mata di tengah kerlip lampu uplik, memotong dan menyambung kain drill merah demi cinta pada anak-anaknya yang senantiasa merekah.

Beliau telaten memasukkan benang pada lubang jarum, menusukkan lalu menarik jarumnya ke dan dari kain sebab keterbatasan yang dipandangnya sebagai tantangan, bukan penghalang. Ya, mesin jahit termasuk barang mahal baginya yang untuk makan sehari-hari saja harus gigih berjuang. Sementara ongkos menjahitkan pun termasuk pengeluaran yang harus dihilangkan.

Ibu itu, Bu'eku.
Dalam diamnya beliau mengajariku perjuangan dan mencari celah yang masih bisa kita manfaatkan.
Dalam keberadaannya selalu di sisiku, di sisi kami, anak-anaknya, beliau pun tetap mengajari bagaimana menjadi wanita mandiri.
Tanpa harus kehilangan jati diri sebagai istri, menjadi partner sejajar suami.

Teman itu tak tahu, betapa tak sedikitnya ibu yang menggadaikan waktu berharga dengan anak-anaknya demi karir yang dipandang lebih berharga dibanding profesi sebagai ibu rumah tangga.
Teman itu tak menyadari, betapa tak sedikit wanita yang rela menduakan anaknya dengan alat teknologi agar disebut modern dan trendi.
Teman itu belum memahami, bahwa dari segi anak, yang terpenting bukanlah apakah ibunya gaptek atau melek teknologi. Bukanlah apakah si ibu bau wangi atau bau terasi.

Bagi seorang anak, sesungguhnya yang dilihat dan diingat, bahkan hingga tiga puluh tahun kemudian adalah apa yang dilakukan ibu untuknya dan seberapa dekat mereka, secara jiwa, juga raga.

Zaman memang berubah. Bahwa perempuan dituntut (atau sebenarnya menuntut dirinya sendiri?) untuk lebih mandiri terutama secara materi.
Namun ada yang tetap tak berubah dari dulu. Yaitu; rumah butuh dipel dan disapu. Pakaian perlu dicuci dan disetrika. Masakan harus tersedia di meja, dan bla bla bla.

Asisten rumah tangga bisa mengerjakannya, kilah mereka yang tak mau repot.
Iya. Itu benar adanya. Dengan beberapa catatan. Dengan beberapa kekurangan. Satu kekurangan terbesar yaitu, mereka melakukannya tanpa cinta.

Zaman memang berubah. Ibu yang menjahit mungkin tak tampak 'seksi' lagi (seperti yang kuyakini sembilan tahun lalu). Tapi kita tentu tak lupa, bahwa pakaian yang kita kenakan, adalah produk dari jasa konveksi yang sebagian besar karyawannya adalah perempuan, ibu-ibu dari seseorang.

Kekinian, tak harus selalu dilekatkan pada sesuatu yang bernama gadget terbaru. Sebagaimana profesi ibu tak harus digambarkan sedang menjahit baju. Meskipun jika digambarkan seperti itu, sungguh sangat menyentuhku. Membawa kenangan masa lalu.

Tanah Baru, 22 Des '13 19.26

Thanks to my lovely husband, yang pertama kali mengajariku cara menjalankan mesin jahit.
Panorama pagi, 5 Januari 2014, Grand Elty Krakatoa. Gunung Raja Basa dan pantainya.
Yasmin narsis gaya baru di Menara Siger. Ranu malu dengan gaya ajaib kakaknya, memalingkan muka. :P
MakZIC di halaman Menara Siger.
Ketiduran menunggu pesanan di rumah makan pertama begitu kami menginjakkan kaki di Sumatra.
Rebutan bola, dan.... jebreettt!!! :D
Group Mas Echo sebagai juara pertama. Keren oiy!
Ayo kita kesana Nak! begitu kira-kira kata Mas Pawang ke gajahnya di Way Kambas.
Bobo pules di mobil di tikum Km 13,5 tol Jakarta-Merak.
Penyerahan bantuan tas dan perlengkapan tulis untuk anak2 sekolah di sekitar Way Kambas.








Lampung Conservation Journey ZIC Part 2




Jam digital di dashboard Jlitheng menunjukkan angka cantik 22:44 begitu kami berhenti di depan rumah. Alhamdulillah, perjalanan indah ini berakhir sudah. Meski sesungguhnya, 3 malam 4 hari masih terasa kurang bagi kami. Dan aku yakin, itu dirasakan juga oleh semua ZICers, MakZIC, maupun KidZIC. Perkara baju kotor menggunung tinggi, atau badan pegal-pegal seolah habis ketabrak Joni (baca Lampung Conservation Journey ZIC Part 1), itu bisa nanti. Yang penting bahagia itu mengguyur kami semua. Seperti hujan yang tak perlu modal, diturunkan begitu saja bahagia itu olehNya. Lewat eratnya persahabatan, rekatnya kekeluargaan.

Games, Doorprize, Best of…

Sedikit berbeda dengan Jamnas atau touring sebelumnya, Jamnas kali ini seksi acara menyajikan sesuatu yang lebih menantang dari pada kubangan gajah. Di-handle oleh duet maut Tante UI; Lupi dan Ruri, tiap group diadu kekompakannya. Ujian pertama berupa games memindahkan karet dengan sedotan. Disusul kemudian mengisi botol air mineral dengan air laut sebanyak mungkin dibatasi waktu. Setelahnya lomba bakiak tandem. Selanjutnya menguji kelincahan jari dengan menganyam sedotan untuk ‘sangkar’ telur yang kemudian dijatuhkan. Dan setelahnya, futsal pantai yang jelas menguras tenaga. Untungnya, semua games itu dilaksanakan setelah sarapan pagi, dengan rasa masakan yang cenderung royal lada. Dari semua rangkaian games itu, yang keluar sebagai juara pertama group Mas Echo, Alpha, dan yang buncit groupku, Bravo.
Sementara Emak dan Bapaknya ketawa-ketiwi hepi berkompetisi, anak-anak yang sudah seperti saudara sendiri asyik dengan gank-nya masing-masing. Sebelumnya, disediakan pula lomba-lomba untuk mereka have fun bersama. Dan menutup aktivitas siang menjelang sore hari ketiga Jamnas, para emak rupanya tak mau kalah sama anak-anak, main air, naik banana boat. Dan tak mau kalah pula dengan kaver majalah lelaki dewasa, di kolam renang yang hanya sedalam 95 cm mereka berpose dengan aduhai. Masih merasa 17+ ya? Hahaha…Peace Maks…:P

Usai kumandang sholat Isya, satu persatu penghuni kamar di sayap kiri bangunan Grand Elty Krakatoa Hotel n Resort bermunculan menuju satu titik; gala dinner ZIC! Hujan tak menghalangi karena kehangatan persahabatan cukup tangguh mengusirnya. Juga kambing guling serta banyak hadiah yang sudah tersedia. Sedikit berbeda dengan tradisi sebelumnya, touring kali ini ada sidak kebersihan dan kerapihan mesin yang disediakan ganjaran bagi pemenangnya. Juga best dresscode saat di Way Kambas yang dimenangkan oleh Om Wied dan Te Novi. Keduanya, menurutku memang sangat layak menang polling. Bahkan petugas TSI Cisarua aja lewatttt. Naksir berat sama boot te Novi. Seksi! J Dan seperti tradisi touring atau event lainnya, ZIC selalu mengadakan tukar kado dan doorprize. Doorprize merupakan sumbangan ZICers, sukarela. Bisa juga dari sponsor. Sayang, tas cantik dari tante Nory belum berjodoh denganku. Huhuhu… Salut buat peserta touring terjauh, sepasang sejoli Om Budi Brown dan Tante Fifi dari DEnMArK yang habis digodain Mas Echo Leader karena sapi kaki 3-nya (manual). Juga dede bayi Om Manggar Te Alfa yang baru berusia 6 bulan sebagai peserta termuda.

Pulang!

Matahari masih malu-malu ketika aku keluar kamar pagi itu. Setengah enam, setelah kelelahan sesiangan kemarin dan semalam, ZICers pasti kebanyakan memilih bergelung di selimut usai sholat subuh pagi hari keempat Jamnas. Tebakanku mengena, karena di luar, hanya kujumpai ODL yang asyik mengambil beberapa foto sebelum kembali ke kamar. Aku meneruskan langkah ke dermaga tempat MakZIC ber-banana boat ria. Gunung Raja Basa masih tertutup awan atasnya. Menjelang terang baru awan itu menyibak, menampakkan puncak gunung yang melandai. Ingatanku terbawa ke puncak Arjuna lebih dua puluh tahun lalu, dari atas awan terlihat seolah gelombang di lautan. Indah sekali.


Sempat berbincang dengan sepasang suami istri asli Lampung di dermaga, sesi jalan-jalan sendiriku pagi ini kututup dengan obrolan dengan seorang bapak. Beliau pensiunan Pemda Lampung, diajak anak dan cucunya yang tinggal di Jakarta untuk refreshing, menyewa resort di Elty. Menjelang usia 69 tahun, Pak Syaiful masih tampak segar mengayuh sepeda sewaan. Beliau banyak bercerita tentang sekitar 60% pendatang, juga suku tertentu dengan stereotipnya masing-masing. Dan baru kutahu, ternyata jalan utama yang kami lalui sebenarnya adalah jalan baru. Jalan yang asli sebenarnya masih masuk di pedalaman. Daripada mengeluarkan dana banyak untuk bla bla bla, pemerintah daerah lebih memilih untuk membangun rute baru. Demikian menurut cerita beliau. Mungkin itu sedikit banyak menjawab pertanyaan di kepalaku, kenapa di beberapa bagian jalan rusak parah sementara di bagian yang lain mulus. Yap, dimana pun, friksi antara pemerintah, pendatang, dan penduduk asli pasti selalu ada.

Kembali ke kamar, aku segera packing, sementara anak-anak mengambil kesempatan terakhir bersenang-senang di kolam renang sebelum check out pukul 10. Dan seperti yang sudah diagendakan, CSR ZIC di kawasan ini berupa sumbangan untuk penanaman pohon bakau. Dilakukan secara simbolis dengan menanam pohon di halaman Elty. Dia akan jadi pengingat jika suatu saat kami berkesempatan kembali ke sini, bahwa pernah ada sebuah kebersamaan indah yang bernama Lampung Conservation Journey oleh Zafira Indonesia Community.

Usai foto-foto narsis seperti biasanya, kami lalu line up menuju jalan besar, kembali ke Bakauheni. Jadwal penyeberangan kapal jam 1, meski ternyata kepadatan traffic membuatnya molor menjadi jam 2 siang. Alhamdulillah, terimakasih kepada Om Didin yang dengan channel-nya membantu ZIC hingga mendapat perlakuan khusus. Termasuk ruang akomodasi yang nyaman sehingga ZICers sebagian bisa istirahat.
Dibanding Munic 1, armada yang kami tumpangi dari Merak ke Bakauheni, Caitlyn ini relative lebih bersih dan lebih lapang. Dan meski di geladak depan mushola diputar rekaman organ tunggal yang teramat menyedihkan suara music dan penyanyinya, tak apa. Toh kami yang di dalam tak mendengar. Hehe.. 

Setengah jam menjelang sandar, si awan gelap rupanya tak sabar lagi menurunkan bulir-bulir airnya. Hujan dengan angin lumayan kencang sedikit memberi goyangan. Alhamdulillah ketika kami harus keluar ruangan, kembali ke mobil untuk bersiap keluar kapal, hujan hanya rintik-rintik. Pun ketika kami melaju menuju tol, sudah berhenti total. Rencana berhenti di rest area untuk pembubaran sekaligus mengajukan request wisata durian dibatalkan. Waktu sudah mepet sekali. Sekalipun kami masih ingin bersama, anak-anak dan sebagian besar dari ZICers harus kembali ke alam nyata; belajar dan bekerja. Maka, pesan dan kesan petugas touring yang belum terakomodir selama berjalan dari Bakauheni, sekaligus pembubarannya kami laksanakan di rest area km 59. Kalau tak salah sih. Tempat sama pembubaran tourdak Anyer beberapa bulan lalu.

Senada, dengan beberapa tambahan di sana sini, all Zulu sepakat, bahwa hanya kepuasan dan kebahagiaan yang kami dapatkan. Soal kekurangan di sana sini termasuk sharing room, makanan, ketahanan sapi-sapi (sebutan cinta kami pada Zafira), dan uji nyali serta keahlian manuver driver, anggap saja sebagai kembang-kembang yang memperindah sebuah perjalanan. Tak sabar rasanya menanti touring berikutnya. Dan yang paling dekat tentu saja nobar. Membayangkan hasil jepretan dan rekaman serta editan mas Imam yang gesit luar biasa mencari angle pas, rasanya kami tak sabar saja. Yang jelas akan membahana di nobar nanti pasti adalah tawa.

Yap, ada banyak yang bisa mempersatukan kita dalam sebuah komunitas. Bisa tunggangan, bisa hobi, bisa profesi, bisa pula sebab lainnya. Yang membedakan kemudian adalah apakah komunitas itu melibatkan semua anggota keluarga, itu yang belum tentu semua bisa. Di Zafira, kami temukan itu. Beberapa dari kami bahkan melihat anak tumbuh bersama-sama. Dan seperti segala sesuatunya, ada proses yang mengiringi. Ada hati-hati yang siap berbagi, saling memahami, menahan friksi. Entah sampai kapan keluarga besar ini berjalan, hanya waktu yang mampu memberi jawaban. Sementara itu, kita nikmati saja indahnya, kebersamaannya, gelak tawanya.

Tanah Baru, 6 Jan ’14 21.18
Indarwati, MakZIC Slamet Harsono ZIC024, Jlitheng

Lampung Conservation Journey ZIC Part 1




Ada yang beberapa tahun terakhir ini selalu kunanti menjelang pergantian tahun. Dan itu jelas bukan hiruk pikuk petasan, berisiknya jeritan terompet , atau euphoria sementara menanti pergantian pukul dua belas ke satu di tanggal tertentu. Bukan, bukan itu. Karena tahun baru menurutku tak lebih penting dari pergantian hari-hari sebelumnya dan nanti. Dan andaipun dia dirayakan, mestinya, sama seperti ulang tahun, dirayakan dalam perenungan, bukan suka cita yang menghamburkan uang demi petasan yang justru banyak mengagetkan bayi dan anak-anak.

Yang kunanti sekarang di pergantian tahun,  adalah serangkaian petualangan, sepotong perjalanan, setangkup persahabatan dan kebersamaan kekeluargaan.  Bukan oleh keluarga yang dipersatukan oleh hubungan darah. Keluarga besar ini bernama Zafira Indonesia Community (ZIC) yang terbentuk oleh kesamaan pilihan kami atas kendaraan Chevrolet Zafira sebagai tunggangan sehari-hari. Dan perjalanan yang kami nanti itu bernama Jamnas (Jambore Nasional) yang dulunya disebut touring akhir tahun. Di ZIC, Jamnas atau touring akhir tahun sudah dimulai sejak tahun 2009-2010, dengan tujuan ke Bali. Kami sekeluarga sendiri baru bisa bergabung dengan agenda rutin ini pada jamnas 2012-2013 yang mengambil tema Heritage n Culture dengan tujuan Magelang, Yogya, Solo.

Selain agenda rutin Jamnas, ZIC juga biasa mengadakan mid tour atau touring tengah tahun. Biasanya sekitaran Juni-Juli saat liburan sekolah. Dan salah satu agenda yang tak kalah serunya, bahkan mungkin lebih mengasyikkan adalah ZICamp. Camping ini biasanya diadakan sekitar bulan Maret-April, sebelum mid tour. Selain mid tour, jamnas, dan ZICamp, ZIC juga biasa mengadakan tourdak atau touring dadakan. Bisa nginep sehari, atau sekedar jalan pagi pulang sore. Tujuannya, seperti di lokasi lain yang kami tuju setiap ada kegiatan yang sudah diagendakan atau sekedar kopdar, adalah tempat yang memenuhi ‘kebutuhan’ seluruh anggota keluarga. Dari tempat ngobrol untuk Om Om-nya (panggilan akrab kami ke ZICer), tempat ngrumpi dan kulineran enak buat Tante Tante-nya (panggilan akrab kami ke MakZIC), juga tempat main buat KidZIC. 

Lampung Conservation Journey

Jamnas keempat ZIC tahun ini mengambil tema Lampung Conservation Journey dengan tujuan utama Taman Nasional Konservasi Gajah Way Kambas. Way Kambas sengaja dipilih untuk lebih mendekatkan kidZIC ke gajah di habitat aslinya, juga menginjakkan kaki-kaki Zafira tak hanya di pulau Jawa (setelah sebelumnya pernah menyeberang ke Bali). 

Officer 1 line up bersama 6 kr
Touch down di tikum
Aku tersenyum membaca chat di group whatsapp. Kualihkan pandangan ke depan, exit ke rest area km 13,5 tol Jakarta-Merak tinggal beberapa ratus meter di depan. Sekitar 00.50, aku keluar dari Zafira dan menjumpai MakZIC yang sudah sampai duluan di sana. Cipika cipiki, kenalan sama yang baru sekali itu bertemu, lalu kami mengobrol tak jemu-jemu. Mengikuti jadwal penyeberangan kapal, kami memang diharapkan berada di titik kumpul jam satu dini hari. Dan setelah semua anggota datang, sambutan panitia, pembagian stiker dan goody bag, doa bersama, yel-yel, kami pun siap meluncur.

Jamnas kali ini diikuti oleh 33 kr (kendaraan). Dibagi menjadi 5 group; Alpha, Bravo, Charlie, Delta, dan Echo. Tiga Officer, satu Service Car dari bengkel rekanan, Sweeper, dan yang pasti Road Captain. Meninggalkan titik kumpul jam 3 pagi, kami sampai di pelabuhan jam 4 lebih sedikit. Usai sholat kami lalu menuju ke penyeberangan. Karena tak termasuk peak season, awalnya loket yang dibuka hanya satu dengan HTM 275 ribu. Sedikit lebih mahal dari saat panitia survey yang hanya seharga 230 ribu. Berderet rapi di dermaga 4 menanti kapal sandar, kami disuguhi pemandangan manis mentari yang mulai membuka pagi. Sekitar pukul 6, kapal ferry Munic I dengan muatan yang kuperkirakan kurang dari separuh kapasitasnya itu mulai mengangkat jangkar, meninggalkan dermaga, menuju pulau Sumatra.

Sebagai mantan tukang gambar kapal, aku selalu mengalami de javu jika naik kapal. Apalagi saat naik kapal cepat dari Semarang ke Karimun Jawa tahun 2005 lalu yang merupakan produksi PT Pal Indonesia Surabaya, dan ternyata salah satu proyek dimana aku terlibat di dalamnya, dulu. :) Dengan suasana pagi yang ramah, cuaca yang bersahabat, kegairahan yang masih menyala serta kondisi fisik prima, kuajak anakku jalan-jalan berkeliling kapal. Kuperkenalkan sekoci penolong, chain locker yang dimasuki rangkaian chain untuk menarik dan lepas jangkar, dan sebagainya. Sempat naik haluan bagian atas, kami disuguhi atraksi ikan layang yang melompat-lompat di atas air. Sungguh indah sekali. Menara Siger makin tampak menggoda ketika kami mulai mendekati dermaga.

Sesuai perkiraan, sekitar jam 8 kami sampai di Bakaheuni. Rolling thunder sesuai urutan kami mampir untuk sekedar foto-foto di Menara Siger. Sekitar pukul sepuluh kami teruskan perjalanan menuju hotel di Way Jepara. Melintasi jalan Lintas Timur Sumatra, awalnya kondisi jalan sangat menyenangkan. Tak banyak kendaraan yang berpapasan dengan kami atau kami lewati. Kondisi fisik jalan mulus sampai sekitar 10 kilometer kemudian ujian untuk Zafira yang ground clearancenya rendah mulai mengantri tak henti. Yup, di banyak titik jalan rusak parah. Beberapa kali bagian bawah Jlitheng (nama kesayangan Zafira kami :) ) harus kepentok batu. Kubangan gajah, begitu kami menyebutnya tak malu-malu mengurangi keasyikan touring kami.

Selain jalan rusak di banyak titik, satu hal yang sempat memunculkan keprihatinanku adalah kurangnya kesadaran pengendara motor pada keselamatan pribadi. Dari sekitar 50% yang kami berpapasan dengannya, tak melindungi kepalanya dengan helm. L Sebagai orang yang pernah merasakan sakitnya kepala, dijahit karena kecelakaan jatuh dari motor—dan ini jelas karena kecerobohan pengendara motor di depan yang mengenakan helm seenaknya sehingga melayang dan membuat motor kami kehilangan kendali demi menghindari—aku hanya mampu berdoa, semoga kepala mereka yang bandel itu benar-benar lebih keras dari aspal. Bukan sekedar ‘keras kepala’ tak peduli pada keselamatannya.

Antara Jawa dan Sumatra

Pulau Jawa, mungkin bisa dibilang surga dunia Indonesia. Mau cari hiburan macam apa saja ada. Yang alami sampai yang modern kebarat-baratan tak terhitung jumlahnya. Dan yang makin marak bahkan menjadi gaya hidup sekitar 10 tahun terakhir ini adalah wisata kuliner. Mau cari makanan dari mana dan bagaimana ada. Di Sumatra, keterbatasan itu tentu saja ada. Ujian bagi kami yang biasa niat wisata kuliner juga jika touring muncul saat makan siang. Rumah makan yang sudah kami konfirmasi jauh-jauh hari ternyata tak siap. Padahal kami sudah memesan menu seminggu sebelumnya saat technical meeting. Ini berbeda sekali dengan profesionalisme rumah makan yang kami singgahi saat ZICamp di Pine Forest dua tahun lalu di daerah Lembang (kalau tak salah). Saung-saung sudah ditata diberi nama, minuman sudah tersedia, dan jelas saat kami yang kecapekan kelaparan melakukan perjalanan panjang mengharapkan servise bagus, itu kami dapatkan. Di rumah makan yang kami singgahi hari pertama menginjakkan kaki ke Sumatra, selain rasa yang mengecewakan, mereka bahkan sampai kehabisan nasi. 

Pelayanan tak memuaskan lagi kami dapatkan di hotel pertama kami menginap. Dua tempat karaoke yang ada seolah bersaing paling kencang suaranya, listrik mati berkali-kali, dan kebersihan kamar mandi yang menyedihkan. Tapi nggak papa deh. Toh cuma semalam. Yang penting kami bisa tidur nyenyak meski harus sharing room. Blessing in disguising buatku yang sekamar dengan member baru. Beliau yang biasa touring dengan komunitas mobil mewahnya mengaku mendapatkan suasana baru yang lebih kekeluargaan di ZIC. Berbeda dengan di komunitasnya yang justru ‘menyingkirkan’ pengguna jalan lain dengan sirine, kami di ZIC justru mengedepankan kesantunan dalam berkendara. Yap, moto ZIC memang drive for fun n safety. Fun buat semua orang, safety buat yang di dalam kendaraan dan pengguna jalan lain.:)

Joni dan Adi

Molor satu jam dari jadwal, sekitar pukul 8 baru kami line up menuju Way Kambas. Berbelok dari jalan utama, kami pun disuguhi jalan berlubang di banyak tempat. Bahkan begitu memasuki area, berjalan sekitar 10 kilometer ke lokasi, jalan aspal tinggal bekasnya saja. Dengan bonus kubangan gajah di banyak tempat yang memaksa driver Zafira harus ekstra hati-hati. Dibanding dengan kondisi jalan di Ujung Kulon dan Ujung Genteng yang sama-sama rusak parah yang pernah kami lewati, yang membuat capek Way Kambas ini adalah karena jalannya panjang seolah tak berujung. Meski kanan kiri hutan menghijau menyegarkan mata. Viewnya mirip-mirip di film Jurasic Park. Suara serangga dan bau hutan membuatku sejenak ingat masa muda (sekarang jiwanya aja yang masih merasa muda, hehe) saat masih suka keluyuran ke gunung. Sayang, oleh Om RC diingatkan untuk menutup kaca. Khawatir ada kera liar menyerang. Pun, krucilsku merasa terganggu dengan bau hutan yang memang rada menyengat itu. Entah tanaman apa yang banyak ada di kiri kanannya.

Alhamdulillah, sekitar pukul 10.30 kami tiba di lokasi. Parkir dengan rapi, lalu berderap menuju tempat atraksi di samping kolam gajah. Jaraknya sekitar 400 meter dari tempat parkir. Seperti pengakuan salah seorang pawang gajah, pengunjung banyak yang kecewa dengan tempat ini, kok begini begini saja. Yap, jujur, ini memang tidak seperti yang aku bayangkan. Tapi mungkin juga karena keterbatasan waktuku untuk menjelajahnya. Tapi sungguh aku bahagia karena ada sesuatu yang bisa kubagi di perjalanan siang ini. Dia bernama Joni.

Dia jantan, umur 5 tahun. Ibunya bernama Kartijah yang merupakan singkatan dari Kartini Gajah. Orang tua si Kartijah (atau Kartijah itu sendiri ya?) yang merupakan cikal bakal berdirinya konservasi gajah ini. Ceritanya dulu sekawanan gajah memasuki lahan penduduk. Kelelahan, mereka akhirnya dilindungi, dijinakkan, hingga tempatnya menjadi kawasan konservasi seperti sekarang ini. Resmi berdiri tahun 1985, meliputi Lampung Timur dan Lampung Tengah. Selain menjinakkan gajah, menyelamatkan sekaligus ‘memasok’ ke taman safari Prigen, taman safari Cisarua, dan kebun binatang lainnya, petugas di sini juga ‘menghalau’ kawanan gajah liar untuk jauh-jauh dari pemukiman atau kawasan penduduk.

Gajah sendiri termasuk hewan social yang berkelompok sekitar 30-50 gajah. Mereka berotasi mencari tempat baru setiap sekitar 40 hari. Jika dalam masa rotasi itu mereka dekat-dekat kawasan penduduk, petugas dengan menunggang gajah besar akan menghalau mereka agar menjauhinya. Jika tidak, bisa gawat nasib mereka. Manusia merasa terancam dengan kehadiran gajah-gajah tersebut lalu mengambil tindakan ekstrim, membunuhnya. Padahal sesungguhnya manusialah yang mendesak mereka hingga kawasannya menyempit.

Di taman konservasi ini selain gajah ada pula beberapa hewan yang dilindungi. Salah satunya yang sedang dikembang biakkan adalah badak. Didanai oleh sebuah lembaga dari luar negri, Rosi, salah seorang badak betina yang dikonservasi, akhirnya bisa beranak setelah dia dan teman-temannya dicoba kembangbiakkan selama 15 tahun. Kelahiran anak Rosi itu sendiri merupakan kelahiran pertama badak di penangkaran dalam kurun waktu 124 tahun. Di alam liar, entah. Menurut pengakuan Mas Adi, pawang Joni, badak Asia, atau badak di Indonesia hanya berjumlah 80 ekor. Ini tak lepas dari sifat badak yang penyendiri, hanya melahirkan satu anak dalam masa kehamilan. Dan proses mengawinkan pun tak mudah. Rosi semula menolak badak yang dijodohkannya karena lebih tinggi dia. Sama ya, kaya manusia yang cenderung memilih suami yang lebih tinggi. Hihihi… dan jika diibaratkan manusia, badak sepertinya masochist. Pakai acara berantem hingga luka-luka sebelum setuju bercinta. Ingat lagunya Rihanna feat Eminem, Love the Way You Lie. Ups! :P

Back to Joni yang pintar beratraksi dengan kawan-kawannya, Wulan, Aji, dll.
Sebelum atraksi dimulai, seremonial selalu ada termasuk penyerahan bantuan ke masyarakat sekitar berupa tas untuk anak sekolah sejumlah 50 buah dan bantuan kepada petugas berupa jas hujan, sepatu boot karet, dan baju gajah. Atraksi ditutup dengan tarik tambang antara gajah dan ZICer yang jelas dimenangkan oleh si gajah dengan berat sekitar 2 ton dan berusia sekitar 30 tahun. Menang telak 2-0!

Keasyikan ngobrol sama Mas Adi, pengantin baru satu bulan asli Jawa yang 4 tahun mengabdi di Way Kambas ini setelah sebelumnya di Riau, aku baru sadar, sebagian besar ZICer sudah balik ke parkiran. Melihat Joni ditunggani Mas Adi ke arah sama, aku yang semula berjalan sendiri meminta tunggangan serta. Alhamdulillah boleh. J Meski tingginya belum mencapai 2 meter, yang namanya menunggang gajah tanpa pelana, tentu saja menegangkan sekaligus mengasyikkan. Apalagi saat aku yang duduk di depan si pawang di belakang. 


Entah mengapa, terbit sayangku pada Joni. Haru dan kasihan sama yang mampu membuatku nyaris menangis saat pertama kali Wulan muncul di arena atraksi. Melihat matanya, aku seolah membaca, bahwa ‘hanya kalian lah manusia, yang diberkati akal dan budi yang mampu menyelamatkan kami’. Makin terharu ketika si Mas bercerita, induk gajah, rasa keibuannya besar. Kartijah, meski sudah lama berpisah dengan Joni, kalau ketemu dan si anak mau nenen, dibolehin sama dia. Juga anak gajah liar lainnya. Meski air susunya sendiri sudah tak ada. Di alam liar, induk gajah biasa menyusui anaknya hingga usia 4 tahun.

Well, rasanya pengin cerita yang buanyak lagi. Tapi sudah nyaris jam 3 dini hari. Sementara besok masih ada acara yang seru-seru pastinya. ZIC memang tak ada matinya! So, mending curhatanku Jamnas tahun ini kusudahi sementara. Mau menikmati kamar hotel yang nyaman dulu dengan bobo manis. Besok bangun pagi-pagi, menyibak gorden dan vitrase, pasti view pantai dengan deburan ombak sudah memanggil-manggil dari balkon kamar. Alhamdulillah. Thanks to panitia yang sudah booking di Grand Elty Krakatoa. Ini baru namanya hotel dan liburan. :)

Kalianda, 4 Jan 2014 2.34