Translate

Rabu, 08 Januari 2014

Lampung Conservation Journey ZIC Part 1




Ada yang beberapa tahun terakhir ini selalu kunanti menjelang pergantian tahun. Dan itu jelas bukan hiruk pikuk petasan, berisiknya jeritan terompet , atau euphoria sementara menanti pergantian pukul dua belas ke satu di tanggal tertentu. Bukan, bukan itu. Karena tahun baru menurutku tak lebih penting dari pergantian hari-hari sebelumnya dan nanti. Dan andaipun dia dirayakan, mestinya, sama seperti ulang tahun, dirayakan dalam perenungan, bukan suka cita yang menghamburkan uang demi petasan yang justru banyak mengagetkan bayi dan anak-anak.

Yang kunanti sekarang di pergantian tahun,  adalah serangkaian petualangan, sepotong perjalanan, setangkup persahabatan dan kebersamaan kekeluargaan.  Bukan oleh keluarga yang dipersatukan oleh hubungan darah. Keluarga besar ini bernama Zafira Indonesia Community (ZIC) yang terbentuk oleh kesamaan pilihan kami atas kendaraan Chevrolet Zafira sebagai tunggangan sehari-hari. Dan perjalanan yang kami nanti itu bernama Jamnas (Jambore Nasional) yang dulunya disebut touring akhir tahun. Di ZIC, Jamnas atau touring akhir tahun sudah dimulai sejak tahun 2009-2010, dengan tujuan ke Bali. Kami sekeluarga sendiri baru bisa bergabung dengan agenda rutin ini pada jamnas 2012-2013 yang mengambil tema Heritage n Culture dengan tujuan Magelang, Yogya, Solo.

Selain agenda rutin Jamnas, ZIC juga biasa mengadakan mid tour atau touring tengah tahun. Biasanya sekitaran Juni-Juli saat liburan sekolah. Dan salah satu agenda yang tak kalah serunya, bahkan mungkin lebih mengasyikkan adalah ZICamp. Camping ini biasanya diadakan sekitar bulan Maret-April, sebelum mid tour. Selain mid tour, jamnas, dan ZICamp, ZIC juga biasa mengadakan tourdak atau touring dadakan. Bisa nginep sehari, atau sekedar jalan pagi pulang sore. Tujuannya, seperti di lokasi lain yang kami tuju setiap ada kegiatan yang sudah diagendakan atau sekedar kopdar, adalah tempat yang memenuhi ‘kebutuhan’ seluruh anggota keluarga. Dari tempat ngobrol untuk Om Om-nya (panggilan akrab kami ke ZICer), tempat ngrumpi dan kulineran enak buat Tante Tante-nya (panggilan akrab kami ke MakZIC), juga tempat main buat KidZIC. 

Lampung Conservation Journey

Jamnas keempat ZIC tahun ini mengambil tema Lampung Conservation Journey dengan tujuan utama Taman Nasional Konservasi Gajah Way Kambas. Way Kambas sengaja dipilih untuk lebih mendekatkan kidZIC ke gajah di habitat aslinya, juga menginjakkan kaki-kaki Zafira tak hanya di pulau Jawa (setelah sebelumnya pernah menyeberang ke Bali). 

Officer 1 line up bersama 6 kr
Touch down di tikum
Aku tersenyum membaca chat di group whatsapp. Kualihkan pandangan ke depan, exit ke rest area km 13,5 tol Jakarta-Merak tinggal beberapa ratus meter di depan. Sekitar 00.50, aku keluar dari Zafira dan menjumpai MakZIC yang sudah sampai duluan di sana. Cipika cipiki, kenalan sama yang baru sekali itu bertemu, lalu kami mengobrol tak jemu-jemu. Mengikuti jadwal penyeberangan kapal, kami memang diharapkan berada di titik kumpul jam satu dini hari. Dan setelah semua anggota datang, sambutan panitia, pembagian stiker dan goody bag, doa bersama, yel-yel, kami pun siap meluncur.

Jamnas kali ini diikuti oleh 33 kr (kendaraan). Dibagi menjadi 5 group; Alpha, Bravo, Charlie, Delta, dan Echo. Tiga Officer, satu Service Car dari bengkel rekanan, Sweeper, dan yang pasti Road Captain. Meninggalkan titik kumpul jam 3 pagi, kami sampai di pelabuhan jam 4 lebih sedikit. Usai sholat kami lalu menuju ke penyeberangan. Karena tak termasuk peak season, awalnya loket yang dibuka hanya satu dengan HTM 275 ribu. Sedikit lebih mahal dari saat panitia survey yang hanya seharga 230 ribu. Berderet rapi di dermaga 4 menanti kapal sandar, kami disuguhi pemandangan manis mentari yang mulai membuka pagi. Sekitar pukul 6, kapal ferry Munic I dengan muatan yang kuperkirakan kurang dari separuh kapasitasnya itu mulai mengangkat jangkar, meninggalkan dermaga, menuju pulau Sumatra.

Sebagai mantan tukang gambar kapal, aku selalu mengalami de javu jika naik kapal. Apalagi saat naik kapal cepat dari Semarang ke Karimun Jawa tahun 2005 lalu yang merupakan produksi PT Pal Indonesia Surabaya, dan ternyata salah satu proyek dimana aku terlibat di dalamnya, dulu. :) Dengan suasana pagi yang ramah, cuaca yang bersahabat, kegairahan yang masih menyala serta kondisi fisik prima, kuajak anakku jalan-jalan berkeliling kapal. Kuperkenalkan sekoci penolong, chain locker yang dimasuki rangkaian chain untuk menarik dan lepas jangkar, dan sebagainya. Sempat naik haluan bagian atas, kami disuguhi atraksi ikan layang yang melompat-lompat di atas air. Sungguh indah sekali. Menara Siger makin tampak menggoda ketika kami mulai mendekati dermaga.

Sesuai perkiraan, sekitar jam 8 kami sampai di Bakaheuni. Rolling thunder sesuai urutan kami mampir untuk sekedar foto-foto di Menara Siger. Sekitar pukul sepuluh kami teruskan perjalanan menuju hotel di Way Jepara. Melintasi jalan Lintas Timur Sumatra, awalnya kondisi jalan sangat menyenangkan. Tak banyak kendaraan yang berpapasan dengan kami atau kami lewati. Kondisi fisik jalan mulus sampai sekitar 10 kilometer kemudian ujian untuk Zafira yang ground clearancenya rendah mulai mengantri tak henti. Yup, di banyak titik jalan rusak parah. Beberapa kali bagian bawah Jlitheng (nama kesayangan Zafira kami :) ) harus kepentok batu. Kubangan gajah, begitu kami menyebutnya tak malu-malu mengurangi keasyikan touring kami.

Selain jalan rusak di banyak titik, satu hal yang sempat memunculkan keprihatinanku adalah kurangnya kesadaran pengendara motor pada keselamatan pribadi. Dari sekitar 50% yang kami berpapasan dengannya, tak melindungi kepalanya dengan helm. L Sebagai orang yang pernah merasakan sakitnya kepala, dijahit karena kecelakaan jatuh dari motor—dan ini jelas karena kecerobohan pengendara motor di depan yang mengenakan helm seenaknya sehingga melayang dan membuat motor kami kehilangan kendali demi menghindari—aku hanya mampu berdoa, semoga kepala mereka yang bandel itu benar-benar lebih keras dari aspal. Bukan sekedar ‘keras kepala’ tak peduli pada keselamatannya.

Antara Jawa dan Sumatra

Pulau Jawa, mungkin bisa dibilang surga dunia Indonesia. Mau cari hiburan macam apa saja ada. Yang alami sampai yang modern kebarat-baratan tak terhitung jumlahnya. Dan yang makin marak bahkan menjadi gaya hidup sekitar 10 tahun terakhir ini adalah wisata kuliner. Mau cari makanan dari mana dan bagaimana ada. Di Sumatra, keterbatasan itu tentu saja ada. Ujian bagi kami yang biasa niat wisata kuliner juga jika touring muncul saat makan siang. Rumah makan yang sudah kami konfirmasi jauh-jauh hari ternyata tak siap. Padahal kami sudah memesan menu seminggu sebelumnya saat technical meeting. Ini berbeda sekali dengan profesionalisme rumah makan yang kami singgahi saat ZICamp di Pine Forest dua tahun lalu di daerah Lembang (kalau tak salah). Saung-saung sudah ditata diberi nama, minuman sudah tersedia, dan jelas saat kami yang kecapekan kelaparan melakukan perjalanan panjang mengharapkan servise bagus, itu kami dapatkan. Di rumah makan yang kami singgahi hari pertama menginjakkan kaki ke Sumatra, selain rasa yang mengecewakan, mereka bahkan sampai kehabisan nasi. 

Pelayanan tak memuaskan lagi kami dapatkan di hotel pertama kami menginap. Dua tempat karaoke yang ada seolah bersaing paling kencang suaranya, listrik mati berkali-kali, dan kebersihan kamar mandi yang menyedihkan. Tapi nggak papa deh. Toh cuma semalam. Yang penting kami bisa tidur nyenyak meski harus sharing room. Blessing in disguising buatku yang sekamar dengan member baru. Beliau yang biasa touring dengan komunitas mobil mewahnya mengaku mendapatkan suasana baru yang lebih kekeluargaan di ZIC. Berbeda dengan di komunitasnya yang justru ‘menyingkirkan’ pengguna jalan lain dengan sirine, kami di ZIC justru mengedepankan kesantunan dalam berkendara. Yap, moto ZIC memang drive for fun n safety. Fun buat semua orang, safety buat yang di dalam kendaraan dan pengguna jalan lain.:)

Joni dan Adi

Molor satu jam dari jadwal, sekitar pukul 8 baru kami line up menuju Way Kambas. Berbelok dari jalan utama, kami pun disuguhi jalan berlubang di banyak tempat. Bahkan begitu memasuki area, berjalan sekitar 10 kilometer ke lokasi, jalan aspal tinggal bekasnya saja. Dengan bonus kubangan gajah di banyak tempat yang memaksa driver Zafira harus ekstra hati-hati. Dibanding dengan kondisi jalan di Ujung Kulon dan Ujung Genteng yang sama-sama rusak parah yang pernah kami lewati, yang membuat capek Way Kambas ini adalah karena jalannya panjang seolah tak berujung. Meski kanan kiri hutan menghijau menyegarkan mata. Viewnya mirip-mirip di film Jurasic Park. Suara serangga dan bau hutan membuatku sejenak ingat masa muda (sekarang jiwanya aja yang masih merasa muda, hehe) saat masih suka keluyuran ke gunung. Sayang, oleh Om RC diingatkan untuk menutup kaca. Khawatir ada kera liar menyerang. Pun, krucilsku merasa terganggu dengan bau hutan yang memang rada menyengat itu. Entah tanaman apa yang banyak ada di kiri kanannya.

Alhamdulillah, sekitar pukul 10.30 kami tiba di lokasi. Parkir dengan rapi, lalu berderap menuju tempat atraksi di samping kolam gajah. Jaraknya sekitar 400 meter dari tempat parkir. Seperti pengakuan salah seorang pawang gajah, pengunjung banyak yang kecewa dengan tempat ini, kok begini begini saja. Yap, jujur, ini memang tidak seperti yang aku bayangkan. Tapi mungkin juga karena keterbatasan waktuku untuk menjelajahnya. Tapi sungguh aku bahagia karena ada sesuatu yang bisa kubagi di perjalanan siang ini. Dia bernama Joni.

Dia jantan, umur 5 tahun. Ibunya bernama Kartijah yang merupakan singkatan dari Kartini Gajah. Orang tua si Kartijah (atau Kartijah itu sendiri ya?) yang merupakan cikal bakal berdirinya konservasi gajah ini. Ceritanya dulu sekawanan gajah memasuki lahan penduduk. Kelelahan, mereka akhirnya dilindungi, dijinakkan, hingga tempatnya menjadi kawasan konservasi seperti sekarang ini. Resmi berdiri tahun 1985, meliputi Lampung Timur dan Lampung Tengah. Selain menjinakkan gajah, menyelamatkan sekaligus ‘memasok’ ke taman safari Prigen, taman safari Cisarua, dan kebun binatang lainnya, petugas di sini juga ‘menghalau’ kawanan gajah liar untuk jauh-jauh dari pemukiman atau kawasan penduduk.

Gajah sendiri termasuk hewan social yang berkelompok sekitar 30-50 gajah. Mereka berotasi mencari tempat baru setiap sekitar 40 hari. Jika dalam masa rotasi itu mereka dekat-dekat kawasan penduduk, petugas dengan menunggang gajah besar akan menghalau mereka agar menjauhinya. Jika tidak, bisa gawat nasib mereka. Manusia merasa terancam dengan kehadiran gajah-gajah tersebut lalu mengambil tindakan ekstrim, membunuhnya. Padahal sesungguhnya manusialah yang mendesak mereka hingga kawasannya menyempit.

Di taman konservasi ini selain gajah ada pula beberapa hewan yang dilindungi. Salah satunya yang sedang dikembang biakkan adalah badak. Didanai oleh sebuah lembaga dari luar negri, Rosi, salah seorang badak betina yang dikonservasi, akhirnya bisa beranak setelah dia dan teman-temannya dicoba kembangbiakkan selama 15 tahun. Kelahiran anak Rosi itu sendiri merupakan kelahiran pertama badak di penangkaran dalam kurun waktu 124 tahun. Di alam liar, entah. Menurut pengakuan Mas Adi, pawang Joni, badak Asia, atau badak di Indonesia hanya berjumlah 80 ekor. Ini tak lepas dari sifat badak yang penyendiri, hanya melahirkan satu anak dalam masa kehamilan. Dan proses mengawinkan pun tak mudah. Rosi semula menolak badak yang dijodohkannya karena lebih tinggi dia. Sama ya, kaya manusia yang cenderung memilih suami yang lebih tinggi. Hihihi… dan jika diibaratkan manusia, badak sepertinya masochist. Pakai acara berantem hingga luka-luka sebelum setuju bercinta. Ingat lagunya Rihanna feat Eminem, Love the Way You Lie. Ups! :P

Back to Joni yang pintar beratraksi dengan kawan-kawannya, Wulan, Aji, dll.
Sebelum atraksi dimulai, seremonial selalu ada termasuk penyerahan bantuan ke masyarakat sekitar berupa tas untuk anak sekolah sejumlah 50 buah dan bantuan kepada petugas berupa jas hujan, sepatu boot karet, dan baju gajah. Atraksi ditutup dengan tarik tambang antara gajah dan ZICer yang jelas dimenangkan oleh si gajah dengan berat sekitar 2 ton dan berusia sekitar 30 tahun. Menang telak 2-0!

Keasyikan ngobrol sama Mas Adi, pengantin baru satu bulan asli Jawa yang 4 tahun mengabdi di Way Kambas ini setelah sebelumnya di Riau, aku baru sadar, sebagian besar ZICer sudah balik ke parkiran. Melihat Joni ditunggani Mas Adi ke arah sama, aku yang semula berjalan sendiri meminta tunggangan serta. Alhamdulillah boleh. J Meski tingginya belum mencapai 2 meter, yang namanya menunggang gajah tanpa pelana, tentu saja menegangkan sekaligus mengasyikkan. Apalagi saat aku yang duduk di depan si pawang di belakang. 


Entah mengapa, terbit sayangku pada Joni. Haru dan kasihan sama yang mampu membuatku nyaris menangis saat pertama kali Wulan muncul di arena atraksi. Melihat matanya, aku seolah membaca, bahwa ‘hanya kalian lah manusia, yang diberkati akal dan budi yang mampu menyelamatkan kami’. Makin terharu ketika si Mas bercerita, induk gajah, rasa keibuannya besar. Kartijah, meski sudah lama berpisah dengan Joni, kalau ketemu dan si anak mau nenen, dibolehin sama dia. Juga anak gajah liar lainnya. Meski air susunya sendiri sudah tak ada. Di alam liar, induk gajah biasa menyusui anaknya hingga usia 4 tahun.

Well, rasanya pengin cerita yang buanyak lagi. Tapi sudah nyaris jam 3 dini hari. Sementara besok masih ada acara yang seru-seru pastinya. ZIC memang tak ada matinya! So, mending curhatanku Jamnas tahun ini kusudahi sementara. Mau menikmati kamar hotel yang nyaman dulu dengan bobo manis. Besok bangun pagi-pagi, menyibak gorden dan vitrase, pasti view pantai dengan deburan ombak sudah memanggil-manggil dari balkon kamar. Alhamdulillah. Thanks to panitia yang sudah booking di Grand Elty Krakatoa. Ini baru namanya hotel dan liburan. :)

Kalianda, 4 Jan 2014 2.34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar