Ada yang beberapa tahun terakhir ini selalu kunanti
menjelang pergantian tahun. Dan itu jelas bukan hiruk pikuk petasan, berisiknya
jeritan terompet , atau euphoria
sementara menanti pergantian pukul dua belas ke satu di tanggal tertentu.
Bukan, bukan itu. Karena tahun baru menurutku tak lebih penting dari pergantian
hari-hari sebelumnya dan nanti. Dan andaipun dia dirayakan, mestinya, sama
seperti ulang tahun, dirayakan dalam perenungan, bukan suka cita yang menghamburkan
uang demi petasan yang justru banyak mengagetkan bayi dan anak-anak.
Yang kunanti sekarang di pergantian tahun, adalah serangkaian petualangan, sepotong
perjalanan, setangkup persahabatan dan kebersamaan kekeluargaan. Bukan oleh keluarga yang dipersatukan oleh
hubungan darah. Keluarga besar ini bernama Zafira Indonesia Community (ZIC)
yang terbentuk oleh kesamaan pilihan kami atas kendaraan Chevrolet Zafira
sebagai tunggangan sehari-hari. Dan perjalanan yang kami nanti itu bernama
Jamnas (Jambore Nasional) yang dulunya disebut touring akhir tahun. Di ZIC,
Jamnas atau touring akhir tahun sudah dimulai sejak tahun 2009-2010, dengan
tujuan ke Bali. Kami sekeluarga sendiri baru bisa bergabung dengan agenda rutin
ini pada jamnas 2012-2013 yang mengambil tema Heritage n Culture dengan tujuan Magelang, Yogya, Solo.
Selain agenda rutin Jamnas, ZIC juga biasa mengadakan mid tour atau touring tengah tahun.
Biasanya sekitaran Juni-Juli saat liburan sekolah. Dan salah satu agenda yang
tak kalah serunya, bahkan mungkin lebih mengasyikkan adalah ZICamp. Camping ini
biasanya diadakan sekitar bulan Maret-April, sebelum mid tour. Selain mid tour,
jamnas, dan ZICamp, ZIC juga biasa mengadakan tourdak atau touring dadakan.
Bisa nginep sehari, atau sekedar jalan pagi pulang sore. Tujuannya, seperti di
lokasi lain yang kami tuju setiap ada kegiatan yang sudah diagendakan atau
sekedar kopdar, adalah tempat yang memenuhi ‘kebutuhan’ seluruh anggota
keluarga. Dari tempat ngobrol untuk Om Om-nya (panggilan akrab kami ke ZICer),
tempat ngrumpi dan kulineran enak buat Tante Tante-nya (panggilan akrab kami ke
MakZIC), juga tempat main buat KidZIC.
Lampung Conservation Journey
Jamnas keempat ZIC tahun ini mengambil tema Lampung Conservation Journey dengan
tujuan utama Taman Nasional Konservasi Gajah Way Kambas. Way Kambas sengaja
dipilih untuk lebih mendekatkan kidZIC ke gajah di habitat aslinya, juga
menginjakkan kaki-kaki Zafira tak hanya di pulau Jawa (setelah sebelumnya
pernah menyeberang ke Bali).
Officer 1 line up
bersama 6 kr
Touch down di tikum
Aku tersenyum membaca chat
di group whatsapp. Kualihkan
pandangan ke depan, exit ke rest area km 13,5 tol Jakarta-Merak tinggal
beberapa ratus meter di depan. Sekitar 00.50, aku keluar dari Zafira dan
menjumpai MakZIC yang sudah sampai duluan di sana. Cipika cipiki, kenalan sama
yang baru sekali itu bertemu, lalu kami mengobrol tak jemu-jemu. Mengikuti
jadwal penyeberangan kapal, kami memang diharapkan berada di titik kumpul jam
satu dini hari. Dan setelah semua anggota datang, sambutan panitia, pembagian
stiker dan goody bag, doa bersama,
yel-yel, kami pun siap meluncur.
Jamnas kali ini diikuti oleh 33 kr (kendaraan). Dibagi
menjadi 5 group; Alpha, Bravo, Charlie, Delta, dan Echo. Tiga Officer, satu Service Car dari bengkel rekanan, Sweeper, dan yang pasti Road
Captain. Meninggalkan titik kumpul jam 3 pagi, kami sampai di pelabuhan jam
4 lebih sedikit. Usai sholat kami lalu menuju ke penyeberangan. Karena tak
termasuk peak season, awalnya loket
yang dibuka hanya satu dengan HTM 275 ribu. Sedikit lebih mahal dari saat
panitia survey yang hanya seharga 230 ribu. Berderet rapi di dermaga 4 menanti
kapal sandar, kami disuguhi pemandangan manis mentari yang mulai membuka pagi.
Sekitar pukul 6, kapal ferry Munic I dengan muatan yang kuperkirakan kurang
dari separuh kapasitasnya itu mulai mengangkat jangkar, meninggalkan dermaga,
menuju pulau Sumatra.
Sebagai mantan tukang gambar kapal, aku selalu mengalami de
javu jika naik kapal. Apalagi saat naik kapal cepat dari Semarang ke Karimun
Jawa tahun 2005 lalu yang merupakan produksi PT Pal Indonesia Surabaya, dan
ternyata salah satu proyek dimana aku terlibat di dalamnya, dulu. :) Dengan suasana pagi
yang ramah, cuaca yang bersahabat, kegairahan yang masih menyala serta kondisi
fisik prima, kuajak anakku jalan-jalan berkeliling kapal. Kuperkenalkan sekoci
penolong, chain locker yang dimasuki
rangkaian chain untuk menarik dan lepas jangkar, dan sebagainya. Sempat naik
haluan bagian atas, kami disuguhi atraksi ikan layang yang melompat-lompat di
atas air. Sungguh indah sekali. Menara Siger makin tampak menggoda ketika kami
mulai mendekati dermaga.
Sesuai perkiraan, sekitar jam 8 kami sampai di Bakaheuni. Rolling thunder sesuai urutan kami
mampir untuk sekedar foto-foto di Menara Siger. Sekitar pukul sepuluh kami
teruskan perjalanan menuju hotel di Way Jepara. Melintasi jalan Lintas Timur
Sumatra, awalnya kondisi jalan sangat menyenangkan. Tak banyak kendaraan yang
berpapasan dengan kami atau kami lewati. Kondisi fisik jalan mulus sampai
sekitar 10 kilometer kemudian ujian untuk Zafira yang ground clearancenya rendah mulai mengantri tak henti. Yup, di
banyak titik jalan rusak parah. Beberapa kali bagian bawah Jlitheng (nama
kesayangan Zafira kami :)
) harus kepentok batu. Kubangan gajah, begitu kami menyebutnya tak malu-malu
mengurangi keasyikan touring kami.
Selain jalan rusak di banyak titik, satu hal
yang sempat memunculkan keprihatinanku adalah kurangnya kesadaran pengendara
motor pada keselamatan pribadi. Dari sekitar 50% yang kami berpapasan
dengannya, tak melindungi kepalanya dengan helm. L
Sebagai orang yang pernah merasakan sakitnya kepala, dijahit karena kecelakaan
jatuh dari motor—dan ini jelas karena kecerobohan pengendara motor di depan
yang mengenakan helm seenaknya sehingga melayang dan membuat motor kami
kehilangan kendali demi menghindari—aku hanya mampu berdoa, semoga kepala
mereka yang bandel itu benar-benar lebih keras dari aspal. Bukan sekedar ‘keras
kepala’ tak peduli pada keselamatannya.
Antara Jawa dan Sumatra
Pulau Jawa, mungkin bisa dibilang surga dunia Indonesia. Mau
cari hiburan macam apa saja ada. Yang alami sampai yang modern kebarat-baratan
tak terhitung jumlahnya. Dan yang makin marak bahkan menjadi gaya hidup sekitar
10 tahun terakhir ini adalah wisata kuliner. Mau cari makanan dari mana dan
bagaimana ada. Di Sumatra, keterbatasan itu tentu saja ada. Ujian bagi kami
yang biasa niat wisata kuliner juga jika touring muncul saat makan siang. Rumah
makan yang sudah kami konfirmasi jauh-jauh hari ternyata tak siap. Padahal kami
sudah memesan menu seminggu sebelumnya saat technical
meeting. Ini berbeda sekali dengan profesionalisme rumah makan yang kami
singgahi saat ZICamp di Pine Forest
dua tahun lalu di daerah Lembang (kalau tak salah). Saung-saung sudah ditata
diberi nama, minuman sudah tersedia, dan jelas saat kami yang kecapekan
kelaparan melakukan perjalanan panjang mengharapkan servise bagus, itu kami
dapatkan. Di rumah makan yang kami singgahi hari pertama menginjakkan kaki ke
Sumatra, selain rasa yang mengecewakan, mereka bahkan sampai kehabisan nasi.
Pelayanan tak memuaskan lagi kami dapatkan di hotel pertama
kami menginap. Dua tempat karaoke yang ada seolah bersaing paling kencang
suaranya, listrik mati berkali-kali, dan kebersihan kamar mandi yang
menyedihkan. Tapi nggak papa deh. Toh cuma semalam. Yang penting kami bisa
tidur nyenyak meski harus sharing room.
Blessing in disguising buatku yang
sekamar dengan member baru. Beliau yang biasa touring dengan komunitas mobil
mewahnya mengaku mendapatkan suasana baru yang lebih kekeluargaan di ZIC.
Berbeda dengan di komunitasnya yang justru ‘menyingkirkan’ pengguna jalan lain
dengan sirine, kami di ZIC justru mengedepankan kesantunan dalam berkendara.
Yap, moto ZIC memang drive for fun n
safety. Fun buat semua orang, safety buat yang di dalam kendaraan dan
pengguna jalan lain.:)
Joni dan Adi
Molor satu jam dari jadwal, sekitar pukul 8 baru kami line up menuju Way Kambas. Berbelok dari
jalan utama, kami pun disuguhi jalan berlubang di banyak tempat. Bahkan begitu
memasuki area, berjalan sekitar 10 kilometer ke lokasi, jalan aspal tinggal
bekasnya saja. Dengan bonus kubangan gajah di banyak tempat yang memaksa driver
Zafira harus ekstra hati-hati. Dibanding dengan kondisi jalan di Ujung Kulon
dan Ujung Genteng yang sama-sama rusak parah yang pernah kami lewati, yang
membuat capek Way Kambas ini adalah karena jalannya panjang seolah tak berujung.
Meski kanan kiri hutan menghijau menyegarkan mata. Viewnya mirip-mirip di film Jurasic Park. Suara serangga dan bau
hutan membuatku sejenak ingat masa muda (sekarang jiwanya aja yang masih merasa
muda, hehe) saat masih suka keluyuran ke gunung. Sayang, oleh Om RC diingatkan
untuk menutup kaca. Khawatir ada kera liar menyerang. Pun, krucilsku merasa
terganggu dengan bau hutan yang memang rada menyengat itu. Entah tanaman apa
yang banyak ada di kiri kanannya.
Alhamdulillah, sekitar pukul 10.30 kami tiba di lokasi.
Parkir dengan rapi, lalu berderap menuju tempat atraksi di samping kolam gajah.
Jaraknya sekitar 400 meter dari tempat parkir. Seperti pengakuan salah seorang
pawang gajah, pengunjung banyak yang kecewa dengan tempat ini, kok begini
begini saja. Yap, jujur, ini memang tidak seperti yang aku bayangkan. Tapi
mungkin juga karena keterbatasan waktuku untuk menjelajahnya. Tapi sungguh aku
bahagia karena ada sesuatu yang bisa kubagi di perjalanan siang ini. Dia
bernama Joni.
Dia jantan, umur 5 tahun. Ibunya bernama Kartijah yang
merupakan singkatan dari Kartini Gajah. Orang tua si Kartijah (atau Kartijah
itu sendiri ya?) yang merupakan cikal bakal berdirinya konservasi gajah ini.
Ceritanya dulu sekawanan gajah memasuki lahan penduduk. Kelelahan, mereka akhirnya
dilindungi, dijinakkan, hingga tempatnya menjadi kawasan konservasi seperti
sekarang ini. Resmi berdiri tahun 1985, meliputi Lampung Timur dan Lampung
Tengah. Selain menjinakkan gajah, menyelamatkan sekaligus ‘memasok’ ke taman
safari Prigen, taman safari Cisarua, dan kebun binatang lainnya, petugas di
sini juga ‘menghalau’ kawanan gajah liar untuk jauh-jauh dari pemukiman atau
kawasan penduduk.
Gajah sendiri termasuk hewan social yang berkelompok sekitar
30-50 gajah. Mereka berotasi mencari tempat baru setiap sekitar 40 hari. Jika
dalam masa rotasi itu mereka dekat-dekat kawasan penduduk, petugas dengan
menunggang gajah besar akan menghalau mereka agar menjauhinya. Jika tidak, bisa
gawat nasib mereka. Manusia merasa terancam dengan kehadiran gajah-gajah
tersebut lalu mengambil tindakan ekstrim, membunuhnya. Padahal sesungguhnya
manusialah yang mendesak mereka hingga kawasannya menyempit.
Di taman konservasi ini selain gajah ada pula beberapa hewan
yang dilindungi. Salah satunya yang sedang dikembang biakkan adalah badak.
Didanai oleh sebuah lembaga dari luar negri, Rosi, salah seorang badak betina
yang dikonservasi, akhirnya bisa beranak setelah dia dan teman-temannya dicoba
kembangbiakkan selama 15 tahun. Kelahiran anak Rosi itu sendiri merupakan
kelahiran pertama badak di penangkaran dalam kurun waktu 124 tahun. Di alam
liar, entah. Menurut pengakuan Mas Adi, pawang Joni, badak Asia, atau badak di
Indonesia hanya berjumlah 80 ekor. Ini tak lepas dari sifat badak yang
penyendiri, hanya melahirkan satu anak dalam masa kehamilan. Dan proses
mengawinkan pun tak mudah. Rosi semula menolak badak yang dijodohkannya karena
lebih tinggi dia. Sama ya, kaya manusia yang cenderung memilih suami yang lebih
tinggi. Hihihi… dan jika diibaratkan manusia, badak sepertinya masochist. Pakai acara berantem hingga
luka-luka sebelum setuju bercinta. Ingat lagunya Rihanna feat Eminem, Love the Way You Lie. Ups! :P
Back to Joni yang pintar beratraksi dengan kawan-kawannya,
Wulan, Aji, dll.
Sebelum atraksi dimulai, seremonial selalu ada termasuk
penyerahan bantuan ke masyarakat sekitar berupa tas untuk anak sekolah sejumlah
50 buah dan bantuan kepada petugas berupa jas hujan, sepatu boot karet, dan
baju gajah. Atraksi ditutup dengan tarik tambang antara gajah dan ZICer yang
jelas dimenangkan oleh si gajah dengan berat sekitar 2 ton dan berusia sekitar
30 tahun. Menang telak 2-0!
Keasyikan ngobrol sama Mas Adi, pengantin baru satu bulan
asli Jawa yang 4 tahun mengabdi di Way Kambas ini setelah sebelumnya di Riau,
aku baru sadar, sebagian besar ZICer sudah balik ke parkiran. Melihat Joni
ditunggani Mas Adi ke arah sama, aku yang semula berjalan sendiri meminta
tunggangan serta. Alhamdulillah boleh. J
Meski tingginya belum mencapai 2 meter, yang namanya menunggang gajah tanpa
pelana, tentu saja menegangkan sekaligus mengasyikkan. Apalagi saat aku yang
duduk di depan si pawang di belakang.
Entah mengapa, terbit sayangku pada Joni.
Haru dan kasihan sama yang mampu membuatku nyaris menangis saat pertama kali
Wulan muncul di arena atraksi. Melihat matanya, aku seolah membaca, bahwa
‘hanya kalian lah manusia, yang diberkati akal dan budi yang mampu
menyelamatkan kami’. Makin terharu ketika si Mas bercerita, induk gajah, rasa
keibuannya besar. Kartijah, meski sudah lama berpisah dengan Joni, kalau ketemu
dan si anak mau nenen, dibolehin sama dia. Juga anak gajah liar lainnya. Meski
air susunya sendiri sudah tak ada. Di alam liar, induk gajah biasa menyusui
anaknya hingga usia 4 tahun.
Well, rasanya pengin cerita yang buanyak lagi. Tapi sudah
nyaris jam 3 dini hari. Sementara besok masih ada acara yang seru-seru
pastinya. ZIC memang tak ada matinya! So, mending curhatanku Jamnas tahun ini
kusudahi sementara. Mau menikmati kamar hotel yang nyaman dulu dengan bobo
manis. Besok bangun pagi-pagi, menyibak gorden dan vitrase, pasti view pantai
dengan deburan ombak sudah memanggil-manggil dari balkon kamar. Alhamdulillah.
Thanks to panitia yang sudah booking
di Grand Elty Krakatoa. Ini baru namanya hotel dan liburan. :)
Kalianda, 4 Jan 2014 2.34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar