Translate

Rabu, 08 Januari 2014

Hari Ibu, Iklan PAN, dan Status Teman

Pagi ini, yang berhamburan di status teman adalah ucapan selamat hari ibu.
Pagi ini, yang membuncah di hatiku adalah rindu, pada sosokmu; Bu'eku

Beberapa hari lalu, ada yang meradang di hatiku. Pasalnya, melalui statusnya, seorang teman seolah mengolok-olok salah satu kegiatan seorang ibu, yaitu menjahit. Secara garis besar, dia nyinyir mempertanyakan penggambaran seorang ibu yang sedang menjahit di iklan PAN. Menurut dia, hari gene, penggambaran sosok ibu harusnya yang memegang BB atau apalah yang lebih keren dan modern. Aku yang jarang sekali menonton televisi dan baru melihat iklan itu semalam justru makin emosi.

Berbaik sangka bahwa dia hanya tak suka dengan PAN sehingga mencari titik yang dianggapnya tak relevan dengan kekinian di iklan, aku menanggapi statusnya dengan senyuman.

Berbaik sangka bahwa dia hanya belum paham betapa berat profesi sebagai ibu, sesederhana apapun job descriptionnya semisal menjahit robekan di baju, aku berkomentar menjahit justru merupakan salah satu passion-ku dan aku sangat enjoy dengan itu.

Berbaik sangka bahwa dia tak memiliki ibu yang bisa sekedar memasang kancing apalagi menjahitkannya celana aku justru jatuh iba.

Lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, seorang ibu selama beberapa lama, setiap malamnya, menjahit rok seragam untuk ketiga anak perempuannya. Jangan dibayangkan beliau bisa tata busana karena telah kursus sementara SR saja tak lulus. Beliau melakukan itu karena tak mampu beli seragam jadi.


Beliau memicingkan mata di tengah kerlip lampu uplik, memotong dan menyambung kain drill merah demi cinta pada anak-anaknya yang senantiasa merekah.

Beliau telaten memasukkan benang pada lubang jarum, menusukkan lalu menarik jarumnya ke dan dari kain sebab keterbatasan yang dipandangnya sebagai tantangan, bukan penghalang. Ya, mesin jahit termasuk barang mahal baginya yang untuk makan sehari-hari saja harus gigih berjuang. Sementara ongkos menjahitkan pun termasuk pengeluaran yang harus dihilangkan.

Ibu itu, Bu'eku.
Dalam diamnya beliau mengajariku perjuangan dan mencari celah yang masih bisa kita manfaatkan.
Dalam keberadaannya selalu di sisiku, di sisi kami, anak-anaknya, beliau pun tetap mengajari bagaimana menjadi wanita mandiri.
Tanpa harus kehilangan jati diri sebagai istri, menjadi partner sejajar suami.

Teman itu tak tahu, betapa tak sedikitnya ibu yang menggadaikan waktu berharga dengan anak-anaknya demi karir yang dipandang lebih berharga dibanding profesi sebagai ibu rumah tangga.
Teman itu tak menyadari, betapa tak sedikit wanita yang rela menduakan anaknya dengan alat teknologi agar disebut modern dan trendi.
Teman itu belum memahami, bahwa dari segi anak, yang terpenting bukanlah apakah ibunya gaptek atau melek teknologi. Bukanlah apakah si ibu bau wangi atau bau terasi.

Bagi seorang anak, sesungguhnya yang dilihat dan diingat, bahkan hingga tiga puluh tahun kemudian adalah apa yang dilakukan ibu untuknya dan seberapa dekat mereka, secara jiwa, juga raga.

Zaman memang berubah. Bahwa perempuan dituntut (atau sebenarnya menuntut dirinya sendiri?) untuk lebih mandiri terutama secara materi.
Namun ada yang tetap tak berubah dari dulu. Yaitu; rumah butuh dipel dan disapu. Pakaian perlu dicuci dan disetrika. Masakan harus tersedia di meja, dan bla bla bla.

Asisten rumah tangga bisa mengerjakannya, kilah mereka yang tak mau repot.
Iya. Itu benar adanya. Dengan beberapa catatan. Dengan beberapa kekurangan. Satu kekurangan terbesar yaitu, mereka melakukannya tanpa cinta.

Zaman memang berubah. Ibu yang menjahit mungkin tak tampak 'seksi' lagi (seperti yang kuyakini sembilan tahun lalu). Tapi kita tentu tak lupa, bahwa pakaian yang kita kenakan, adalah produk dari jasa konveksi yang sebagian besar karyawannya adalah perempuan, ibu-ibu dari seseorang.

Kekinian, tak harus selalu dilekatkan pada sesuatu yang bernama gadget terbaru. Sebagaimana profesi ibu tak harus digambarkan sedang menjahit baju. Meskipun jika digambarkan seperti itu, sungguh sangat menyentuhku. Membawa kenangan masa lalu.

Tanah Baru, 22 Des '13 19.26

Thanks to my lovely husband, yang pertama kali mengajariku cara menjalankan mesin jahit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar