Pagi yang tak terlupakan. Di
bawah tenda besar, 2000 lebih calon santri berdebar menanti keputusan. Akankah
asa mereka menggali ilmu agama dan mengasah life
skill di tempat terbaik ini menjadi nyata, atau harus terhenti sampai di
sana. Di sekitar tenda, orang tua wali calon santri mungkin bahkan lebih
berdebar menanti. Jika anaknya lulus, akankah mereka masuk ke Gontor Putri
seperti yang diharapkannya, atau jika tidak, bagaimana? Masuk ke pesantren
‘penyangga’ yang dikelola alumnus lalu mencoba ikut ujian lagi tahun depan,
atau pulang ke daerah asal lalu masuk ke sekolah lainnya?
Gontor, system penerimaan santri
barunya memang mengacu ke penanggalan Hijriyah. Dimulai Syawal. Jika
tahun-tahun sebelumnya ada dua gelombang penerimaan, untuk tahun ini hanya satu
saja. Jadi jika sudah tidak diterima tidak bisa mukim di Gontor untuk mencoba
gelombang kedua. Hanya ada satu kesempatan di tahun ini plus ujian tulis dan
penerimaan di saat sekolah lain sudah mulai KBM makin menambah beban.
“Lha nanti kalau nggak diterima
mau sekolah dimana?” Begitulah pertanyaan yang langsung diajukan ke kami begitu
tahu Ais belum masuk sekolah manapun sementara di Gontor belum pasti.
“Entahlah. Semoga dimudahkan. Semoga ada jalan.” Jawabku
pasrah.
Pemberitahuan Pak Kyai saat
pembukaan sebelum pengumuman kelulusan tentang pesantren-pesantren penyangga
itu sungguh melegakan. Namun tetap tak mengurangi debar jantung saat satu
persatu nomor disebutkan. Dimulai dari yang diterima di Gontor Putri 1
Mantingan.
Bersimbuh di selasar kelas di
belakang panggung tempat pimpinan pondok duduk, tubuhku saling bersandar dengan
tubuh Mama Ara. Debar jantungnya jelas sekali kurasa. Dan mungkin dia juga
merasakan hal sama. Tangan kami yang berkeringat dingin saling erat
menggenggam.
Air mata kami sesekali luruh lagi
demi ingat pertaruhan ini. Demi harap begitu besar yang kami gantungkan. Air
mata itu makin luruh ketika nomor ujian Jeni, Ais, dan Ara dilewati. Seangkatan,
alumnus MIN Al Azhar Asy Syarif yang mendaftar di Gontor tahun ini 4 orang putri,
3 orang putra. Seminggu sebelumnya, yang putra sudah pengumuman dan dinyatakan
diterima ketiganya di Gontor Putra 1 Ponorogo.
Jeni, mamanya adalah guru BP di
sekolah Ais. Ustadzah Tia ini oleh Ais bahkan dianggap sebagai mama kedua,
tempat curhatnya di sekolah. Karena belum bisa mengambil cuti, beliau memantau
pengumuman by phone. Setiap mendekati
nomor ujiannya Mama Ara menelpon. Sementara aku memilih memastikan dengan
merekam. Untuk kemudian aku kirimkan via whatsapp
ke suamiku juga.
Satu lagi yang masuk adalah
Nabila. Aku sempat bertemu dan ngobrol dengan mamanya. Mbak Siti, seorang
perawat yang baik hati dan bagian logistik anak-anak selama kami di Bapenta.
Beliau paling open (memperhatikan dan
menyiapkan) makanan bagi anak-anak. Meski di dapur sudah disiapkan makan,
selama masih ada mamanya nginep di Bapenta (bagian penerimaan tamu), anak-anak
memanfaatkan setiap kesempatan untuk keluar dengan menemui mamanya termasuk
saat istirahat makan siang.
Selesai diumumkan nomor-nomor yang
diterima di GP1, kami makin lemas. Keempat nomor ujian anak-anak kami nggak ada
yang masuk.
“Selanjutnya, yang diterima di Gontor Putri 2.”
Kami menyimak, ndremimil
berdoa, debar di dada makin terasa.
“Selanjutnya.. (ustadz kembali
membaca setelah mengambil jeda dari halaman sebelumnya) delapan ratus sembilan
puluh enam.”
Alhamdulillah Jeni masuk. Aku dan Mama Ara masih menunggu.
“…seribu dua. Seribu empat…”
Tangisku pecah. Beban berat seolah
terangkat dari dada. Berangsur-angsur detak jantungku melambat. 1004 adalah
nomor ujian Ais dari 2085 calon santri. Namun untuk sujud syukur aku masih
menunggu hingga nomor Ara diumumkan. Dia ternyata masuk Gontor Putri 3.
Berjarak sekitar 10 km dari GP1 dan GP2. Total yang diterima angkatan ini 1803.
Yang tidak diterima 282 dengan perincian diterima di GP1 600 santriwati, GP2
280 santriwati, GP3 625 santriwati, dan GP5 300 santriwati.
Pemandangan selanjutnya adalah
tangis dimana-mana. Tangis bahagia, tangis kecewa. Bahkan ada ibu yang pingsan
begitu mengetahui anaknya tak diterima. Pelukan dan kata-kata penghiburan
bertebaran. Dan mataku, masih lapar mencari-cari anakku tercinta. Sejak turun
dari bis, lalu klekaran di masjid
sebelah Bapenta GP1 pas dini hari, hingga paginya pengumuman aku belum bertemu
anakku. Malam sebelumnya, teman mamanya menelpon, bilang Ais mau bicara. Tapi
begitu kukasih tahu aku sedang di pesawat, padahal baru saja masuk dan duduk,
telepon langsung ditutup.
Kutuju tempat berkumpulnya mereka
yang diterima di GP2. Di teras asrama Bosnia, diantara santriwati baru yang
duduk menunggu pengarahan dari ustadzah, kutemukan wajah hitam manisnya.
Kupanggil, dia menghambur ke pelukanku, menangis. “Aku kangen Mama, huhuhu…” isaknya.
“Iya. Apalagi Mama.” Jawabku,
lalu menggodanya mengajak pulang karena tidak diterima.
Proses selanjutnya adalah
pindahan.
Yang diterima di GP3 dan GP5 di
Kediri, disediakan kendaraan dari pondok bagi yang walinya tak membawa
kendaraan pribadi. Bagi yang tidak diterima bisa langsung mengambil uang yang
sudah disetorkan saat pendaftaran. Lalu jika berminat bisa langsung pula
mendaftar di pesantren-pesantren penyangga yang membuka meja pendaftaran.
Pesantren-pesantren itu juga sudah menyediakan kendaraan untuk langsung membawa
calon santriwati.
Pemandangan selanjutnya adalah santriwati
dan walinya yang hilir mudik membawa barang. Kasur, bantal, ember, tas pakaian,
dll. Dua diantara mereka yang mengais iba sekaligus salutku adalah seorang ibu.
Beliau pindahan membawa barang dua anak kembarnya dari GP2 tempat mukim saat
pembekalan ke GP1. Satu lagi seorang gadis kecil--dalam artian
sebenarnya--bernama Rosida, dari Batam. Diterima di GP3, tubuh mungilnya dengan
penuh usaha menyeret tas koper besarnya, kasur, ember timba, dan dua tas berisi
sepatu sandal dll. Berapa meter berjalan salah satu barangnya jatuh tercecer sehingga dia harus berhenti
untuk mengambilnya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dia menaiki jalan yang
menjembatani GP1 dan GP2. Semoga ada yang mengulurkan tangan. Ingin sekali
membantunya tapi aku sendiri baru balik dari mengambil sebagian barang Jeni. Kedua
tanganku sudah penuh dan aku sedang berada di tengah jalanku dari GP1 ke GP2. Sebelumnya,
adu ‘kuat’ dengan Ais membawa
barang-barangnya dari asrama Real Maghrib di bagian belakang GP1 ke asrama
Damaskus di GP2. Salut untuk anakku. Aku bersyukur sifat keras kepala, tak bisa
diam, fisik kuat dan tomboyku menurun padanya, yang sangat-sangat dibutuhkan
dalam keadaan seperti itu. Tentang
Rosida yang tak ada orang tuanya yang mendampingi, aku lega dan bersyukur
ketika menjelang asar dia kudapati sudah ketawa-ketiwi dengan teman-temannya.
Barang-barang sudah aman di kendaraan menuju GP3.
Selanjutnya, adalah tugas wali
santriwati untuk memenuhi kebutuhan santriwatinya. Seragam, buku-buku, dsb.
Santriwatinya sendiri mulai pembagian kamar, menata barang jika lemarinya sudah
datang, dsb.
Benar-benar hari yang melelahkan.
Jiwa dan raga. Menjelang tengah malam, kuputuskan menutup mata. Kaki yang pegal
sekali seperti habis naik gunung pun minta diistirahatkan segera. Apalagi
seorang ibu tanpa bertanya mematikan lampu kamar bapenta putri, menghentikan
kegiatanku membaca sembari menunggu Mbak Tia, Mama Jeni datang. Pesawat delay 2 jam. Membuatnya tak sempat
bertemu Jeni di jam makan malam. Mengguratkan kecewa di anak nomor 3nya dari 7
bersaudara ini. Jeni bisa dibilang menularkan virus mondok di Gontor pada kedua
kakaknya. Karena sejak kelas 2, dia sudah fokus mau meneruskan ke Gontor
selulusnya dari MIN. Kakaknya yang nomor 1 masuk di Gontor Putra Ponorogo, yang
nomor 2 di Gontor Putri 1. Sedangkan Nabila, putri kedua Mbak Siti, mengikuti
jejak kakaknya yang sudah kelas 6 di GP1. Bergaul dengan ibu-ibu seperti Mbak
Tia dan Mbak Siti, yang berusaha sekuat tenaga demi pendidikan anak-anaknya
dunia akhirat ini sungguh-sungguh mengajariku banyak hal. Terutama kesabaran
dan keikhlasan.
Kusempatkan menelpon Mbak Tia,
untuk mengetahui dia sampai dimana. Telepon sedang tak aktif atau berada di
luar servis area. Kumatikan ponsel, mengirit batere karena kalau mau ngecharge
susah di bapenta. Tak ada colokan. Ternyata, setelahnya, Mbak Tia menelpon.
Lucunya, beliau ternyata sudah masuk di Bapenta putri pula. Satu deret dengan
sisi ruangan kami merebahkan diri. Aku di pojokan dalam, beliau di pojokan
luar. Skenario Allah. Kalau tidak missed
seperti itu kami bertiga pasti ngobrol lagi sampai dini hari padahal raga sudah
menuntut haknya, istirahat.
Anakku, Kamis 14 Agustus 2014 merupakan salah satu hari yang takkan
terlupakan di sepanjang hidup Mama. Berdebar menunggu pengumuman pagi itu
bahkan melebihi kekhawatiran saat engkau hendak Mama lahirkan. Terimakasih
sudah melakukan yang terbaik. Untukmu sendiri , bagi kami. Satu langkah lagi
terlampaui. Masih banyak lagi di depan menanti. Mari kita tetap berusaha,
selebihnya, serahkan saja pada yang Maha Kuasa. We love you, we proud of you,
Izzatul Fatimah Azzahra.Alhamdulillah.
Tanah Baru, Menjelang
ulang tahun kelima belas pernikahan
Bermanfaat bgt mba, semoga putriqu kelak bisa menimba ilmu di pesantren gontor.
BalasHapus