Translate

Selasa, 19 Agustus 2014

KE GONTOR APA YANG KAU CARI? PART 1



Pagi yang tak terlupakan. Di bawah tenda besar, 2000 lebih calon santri berdebar menanti keputusan. Akankah asa mereka menggali ilmu agama dan mengasah life skill di tempat terbaik ini menjadi nyata, atau harus terhenti sampai di sana. Di sekitar tenda, orang tua wali calon santri mungkin bahkan lebih berdebar menanti. Jika anaknya lulus, akankah mereka masuk ke Gontor Putri seperti yang diharapkannya, atau jika tidak, bagaimana? Masuk ke pesantren ‘penyangga’ yang dikelola alumnus lalu mencoba ikut ujian lagi tahun depan, atau pulang ke daerah asal lalu masuk ke sekolah lainnya?

Gontor, system penerimaan santri barunya memang mengacu ke penanggalan Hijriyah. Dimulai Syawal. Jika tahun-tahun sebelumnya ada dua gelombang penerimaan, untuk tahun ini hanya satu saja. Jadi jika sudah tidak diterima tidak bisa mukim di Gontor untuk mencoba gelombang kedua. Hanya ada satu kesempatan di tahun ini plus ujian tulis dan penerimaan di saat sekolah lain sudah mulai KBM makin menambah beban.

“Lha nanti kalau nggak diterima mau sekolah dimana?” Begitulah pertanyaan yang langsung diajukan ke kami begitu tahu Ais belum masuk sekolah manapun sementara di Gontor belum pasti.

“Entahlah. Semoga dimudahkan. Semoga ada jalan.” Jawabku pasrah.

Pemberitahuan Pak Kyai saat pembukaan sebelum pengumuman kelulusan tentang pesantren-pesantren penyangga itu sungguh melegakan. Namun tetap tak mengurangi debar jantung saat satu persatu nomor disebutkan. Dimulai dari yang diterima di Gontor Putri 1 Mantingan.

Bersimbuh di selasar kelas di belakang panggung tempat pimpinan pondok duduk, tubuhku saling bersandar dengan tubuh Mama Ara. Debar jantungnya jelas sekali kurasa. Dan mungkin dia juga merasakan hal sama. Tangan kami yang berkeringat dingin saling erat menggenggam.

Air mata kami sesekali luruh lagi demi ingat pertaruhan ini. Demi harap begitu besar yang kami gantungkan. Air mata itu makin luruh ketika nomor ujian Jeni, Ais, dan Ara dilewati. Seangkatan, alumnus MIN Al Azhar Asy Syarif yang mendaftar di Gontor tahun ini 4 orang putri, 3 orang putra. Seminggu sebelumnya, yang putra sudah pengumuman dan dinyatakan diterima ketiganya di Gontor Putra 1 Ponorogo.

Jeni, mamanya adalah guru BP di sekolah Ais. Ustadzah Tia ini oleh Ais bahkan dianggap sebagai mama kedua, tempat curhatnya di sekolah. Karena belum bisa mengambil cuti, beliau memantau pengumuman by phone. Setiap mendekati nomor ujiannya Mama Ara menelpon. Sementara aku memilih memastikan dengan merekam. Untuk kemudian aku kirimkan via whatsapp ke suamiku juga.

Satu lagi yang masuk adalah Nabila. Aku sempat bertemu dan ngobrol dengan mamanya. Mbak Siti, seorang perawat yang baik hati dan bagian logistik anak-anak selama kami di Bapenta. Beliau paling open (memperhatikan dan menyiapkan) makanan bagi anak-anak. Meski di dapur sudah disiapkan makan, selama masih ada mamanya nginep di Bapenta (bagian penerimaan tamu), anak-anak memanfaatkan setiap kesempatan untuk keluar dengan menemui mamanya termasuk saat istirahat makan siang.

Selesai diumumkan nomor-nomor yang diterima di GP1, kami makin lemas. Keempat nomor ujian anak-anak kami nggak ada yang masuk.

“Selanjutnya, yang diterima di Gontor Putri 2.”

Kami menyimak, ndremimil berdoa, debar di dada makin terasa.

“Selanjutnya.. (ustadz kembali membaca setelah mengambil jeda dari halaman sebelumnya) delapan ratus sembilan puluh enam.”

Alhamdulillah Jeni masuk. Aku dan Mama Ara masih menunggu.

“…seribu dua. Seribu empat…”

Tangisku pecah. Beban berat seolah terangkat dari dada. Berangsur-angsur detak jantungku melambat. 1004 adalah nomor ujian Ais dari 2085 calon santri. Namun untuk sujud syukur aku masih menunggu hingga nomor Ara diumumkan. Dia ternyata masuk Gontor Putri 3. Berjarak sekitar 10 km dari GP1 dan GP2. Total yang diterima angkatan ini 1803. Yang tidak diterima 282 dengan perincian diterima di GP1 600 santriwati, GP2 280 santriwati, GP3 625 santriwati, dan GP5 300 santriwati.

Pemandangan selanjutnya adalah tangis dimana-mana. Tangis bahagia, tangis kecewa. Bahkan ada ibu yang pingsan begitu mengetahui anaknya tak diterima. Pelukan dan kata-kata penghiburan bertebaran. Dan mataku, masih lapar mencari-cari anakku tercinta. Sejak turun dari bis, lalu klekaran di masjid sebelah Bapenta GP1 pas dini hari, hingga paginya pengumuman aku belum bertemu anakku. Malam sebelumnya, teman mamanya menelpon, bilang Ais mau bicara. Tapi begitu kukasih tahu aku sedang di pesawat, padahal baru saja masuk dan duduk, telepon langsung ditutup.

Kutuju tempat berkumpulnya mereka yang diterima di GP2. Di teras asrama Bosnia, diantara santriwati baru yang duduk menunggu pengarahan dari ustadzah, kutemukan wajah hitam manisnya. Kupanggil, dia menghambur ke pelukanku, menangis. “Aku kangen Mama, huhuhu…” isaknya.

“Iya. Apalagi Mama.” Jawabku, lalu menggodanya mengajak pulang karena tidak diterima.
Proses selanjutnya adalah pindahan.

Yang diterima di GP3 dan GP5 di Kediri, disediakan kendaraan dari pondok bagi yang walinya tak membawa kendaraan pribadi. Bagi yang tidak diterima bisa langsung mengambil uang yang sudah disetorkan saat pendaftaran. Lalu jika berminat bisa langsung pula mendaftar di pesantren-pesantren penyangga yang membuka meja pendaftaran. Pesantren-pesantren itu juga sudah menyediakan kendaraan untuk langsung membawa calon santriwati.

Pemandangan selanjutnya adalah santriwati dan walinya yang hilir mudik membawa barang. Kasur, bantal, ember, tas pakaian, dll. Dua diantara mereka yang mengais iba sekaligus salutku adalah seorang ibu. Beliau pindahan membawa barang dua anak kembarnya dari GP2 tempat mukim saat pembekalan ke GP1. Satu lagi seorang gadis kecil--dalam artian sebenarnya--bernama Rosida, dari Batam. Diterima di GP3, tubuh mungilnya dengan penuh usaha menyeret tas koper besarnya, kasur, ember timba, dan dua tas berisi sepatu sandal dll. Berapa meter berjalan salah satu barangnya  jatuh tercecer sehingga dia harus berhenti untuk mengambilnya. Aku tak bisa membayangkan bagaimana dia menaiki jalan yang menjembatani GP1 dan GP2. Semoga ada yang mengulurkan tangan. Ingin sekali membantunya tapi aku sendiri baru balik dari mengambil sebagian barang Jeni. Kedua tanganku sudah penuh dan aku sedang berada di tengah jalanku dari GP1 ke GP2. Sebelumnya, adu ‘kuat’ dengan  Ais membawa barang-barangnya dari asrama Real Maghrib di bagian belakang GP1 ke asrama Damaskus di GP2. Salut untuk anakku. Aku bersyukur sifat keras kepala, tak bisa diam, fisik kuat dan tomboyku menurun padanya, yang sangat-sangat dibutuhkan dalam keadaan seperti itu.  Tentang Rosida yang tak ada orang tuanya yang mendampingi, aku lega dan bersyukur ketika menjelang asar dia kudapati sudah ketawa-ketiwi dengan teman-temannya. Barang-barang sudah aman di kendaraan menuju GP3.

Selanjutnya, adalah tugas wali santriwati untuk memenuhi kebutuhan santriwatinya. Seragam, buku-buku, dsb. Santriwatinya sendiri mulai pembagian kamar, menata barang jika lemarinya sudah datang, dsb.
Benar-benar hari yang melelahkan. Jiwa dan raga. Menjelang tengah malam, kuputuskan menutup mata. Kaki yang pegal sekali seperti habis naik gunung pun minta diistirahatkan segera. Apalagi seorang ibu tanpa bertanya mematikan lampu kamar bapenta putri, menghentikan kegiatanku membaca sembari menunggu Mbak Tia, Mama Jeni datang. Pesawat delay 2 jam. Membuatnya tak sempat bertemu Jeni di jam makan malam. Mengguratkan kecewa di anak nomor 3nya dari 7 bersaudara ini. Jeni bisa dibilang menularkan virus mondok di Gontor pada kedua kakaknya. Karena sejak kelas 2, dia sudah fokus mau meneruskan ke Gontor selulusnya dari MIN. Kakaknya yang nomor 1 masuk di Gontor Putra Ponorogo, yang nomor 2 di Gontor Putri 1. Sedangkan Nabila, putri kedua Mbak Siti, mengikuti jejak kakaknya yang sudah kelas 6 di GP1. Bergaul dengan ibu-ibu seperti Mbak Tia dan Mbak Siti, yang berusaha sekuat tenaga demi pendidikan anak-anaknya dunia akhirat ini sungguh-sungguh mengajariku banyak hal. Terutama kesabaran dan keikhlasan.

Kusempatkan menelpon Mbak Tia, untuk mengetahui dia sampai dimana. Telepon sedang tak aktif atau berada di luar servis area. Kumatikan ponsel, mengirit batere karena kalau mau ngecharge susah di bapenta. Tak ada colokan. Ternyata, setelahnya, Mbak Tia menelpon. Lucunya, beliau ternyata sudah masuk di Bapenta putri pula. Satu deret dengan sisi ruangan kami merebahkan diri. Aku di pojokan dalam, beliau di pojokan luar. Skenario Allah. Kalau tidak missed seperti itu kami bertiga pasti ngobrol lagi sampai dini hari padahal raga sudah menuntut haknya, istirahat.

Anakku, Kamis 14 Agustus 2014 merupakan salah satu hari yang takkan terlupakan di sepanjang hidup Mama. Berdebar menunggu pengumuman pagi itu bahkan melebihi kekhawatiran saat engkau hendak Mama lahirkan. Terimakasih sudah melakukan yang terbaik. Untukmu sendiri , bagi kami. Satu langkah lagi terlampaui. Masih banyak lagi di depan menanti. Mari kita tetap berusaha, selebihnya, serahkan saja pada yang Maha Kuasa. We love you, we proud of you, Izzatul Fatimah Azzahra.Alhamdulillah. 

Tanah Baru, Menjelang ulang tahun kelima belas pernikahan 

1 komentar:

  1. Bermanfaat bgt mba, semoga putriqu kelak bisa menimba ilmu di pesantren gontor.

    BalasHapus