Jumat, adalah hari libur di Gontor. Pagi, usai
mandi, sebelum sholat subuh kusempatkan ke Bapenta meminta dibikinkan tasreh
untuk anak-anak. Tasreh itu adalah secarik kertas kecil yang diberikan ke
santriwati sebagai tiket dia untuk keluar. Berlaku dalam sehari. Wali yang
hendak menemui anaknya harus mendaftar di bagian penerimaan tamu itu, mendaftar
minta dipanggilkan nama santriwati, rayon dan kamarnya, asal daerah, kelas,
nama wali santri, dan hubungan kekeluargaan. Setelah dicatat di buku petugas
akan menyalin ke kertas kecil itu untuk disampaikan ke santriwati yang
bersangkutan. Dengan tiket itu mereka bisa bertemu di bapenta. Santriwati tidak
diijinkan keluar dari pagar pondok.
Sekitar jam 6 aku melangkahkan
kaki ke depan pagar kedua. Berharap santriwati baru sudah boleh menemui
keluarganya. Rupanya mereka sedang bersih-bersih. Setelahnya ada pengarahan.
Tak sabar aku menunggu. Ingin menangis saja rasanya. Masak mau ketemu anak
sendiri begini susahnya. Tapi aku tentu tak sendiri. Wali santri lain juga njrabing—berkerumun berdiri —di depan
pagar. Meredakan resah kami mengobrol yang
sangat bermanfaat bagi newbie
sepertiku. Hingga pukul 10 lebih baru satu persatu santriwati boleh melewati
pos pemeriksaan tasreh. Di masing-masing tangan mereka membawa tas sandal. Tas
sandal atau sepatu adalah hal vital di pesantren agar alas kaki mereka aman.
Pindah menunggu di sudut kamar
bapenta putri, Jeni dan Nabila akhirnya muncul. Ais yang sejak mukim sudah
mendapat teman-teman sekamar yang klik lebih sering bersama mereka daripada
dengan ketiga teman satu sekolahnya yang asramanya berjauhan.
Meluncur dari pintu, Ais
bersimpuh memelukku. Tangisnya pecah.
“Ada apa?” tanyaku khawatir.
“Teman-teman sekamarku nggak
asyik. Seruan temanku di GP1.” Jawabnya berlinang air mata.
Ah, aku lega. Kukira ada sesuatu
yang lebih penting. Kubesarkan hatinya, kuhibur. Sekamar 31 anak, masak nggak
ada yang klik satupun? Dia juga beralasan banyak teman sekamarnya lulusan SMP,
masuk kelas 1 intensif, sejajar dengan 1 SMA. Aku tersenyum, menawarkan sudut
pandang baru kepadanya, menawarkan makan. Baru besoknya terjawab kenapa emosi
Ais sedikit naik. Tidak biasanya dia cemen
seperti itu. Ternyata, dia sedang PMS.
Alhamdulillah, masuk pondok, anakku diinisiasi juga olehNya, menjadi baligh.
Sebelum-sebelumnya kami sudah banyak melakukan dialog tentang pendidikan seks.
Ais waktu itu sepertinya tak sabar mendapatkan pengalaman haid pertama seperti
yang dialami teman-temannya.
Ternyata, meskipun judulnya hari libur,
santriwati tak bisa seenaknya berleha-leha. Sholat wajib berjamaah di masjid.
Tugas orang tua, masih sama seperti kemarin, melengkapi kebutuhan anak. Karena
tak semua barang bisa didapat di satu toko. Di GP2 ada 3 pilihan koperasi.
Pertama koperasi di dalam pondok. Koperasi kedua ada di luar, di seberang jalan
pesis di depan pondok. Koperasi ketiga, Royal berjarak sekitar 300m ke arah
Sragen. Di depan Royal ini kalau pagi ada pasar kaget. Lumayan buat cari
sarapan dengan menu di luar kantin Bapenta
.
Di GP1, ada MM, koperasi yang berada di dalam pondok. Selain
keempat koperasi itu, di depan pondok banyak toko milik penduduk yang
menyediakan kebutuhan santri selain seragam. Seragam hanya dijual di koperasi
pondok, tapi seragam bekas ada yang dijual di toko milik penduduk.
Tips dan triks sehubungan kebutuhan santri.
Saat mendaftar, usai tes lisan
dan kesehatan, calon santri diwajibkan mukim untuk pembekalan sebelum tes
tulis. Peraturan tentang mukim ini disesuaikan setiap tahunnya. Untuk mukim,
santri diwajibkan sudah memiliki barang-barang kebutuhan pribadi. Berikut yang
bisa disiapkan, plus tambahan dari aku sendiri.
1.
Kasur dan perlengkapannya; bantal, guling,
sprei, selimut
2.
Ember dan perlengkapan mandi (sabun mandi, sikat gigi, odol, sabun cuci, sikat cuci,
gayung, shampoo, hanger baju, dsb.)
3.
Peralatan makan; piring, sendok garpu, cangkir
minum, botol persediaan air minum.
4.
Quran ukuran sedang
5.
Pakaian;
gamis atau atasan bawahan yang longgar, jilbab segi empat dengan bahan
tebal warna putih, pakaian olah raga/training longgar, pakaian tidur 2 pieces
bawahannya celana.
6.
Sisir kutu, gunting kuku.
7.
Kosmetik; cermin kecil, bedak, sisir, sabun
wajah, obat jerawat, parfum , tissue, cotton bud
8.
Tas sandal, sandal, sepatu pantofel hitam dengan
hak 2 cm, sepatu olah raga.
9.
Baju ‘wajib’ ; rok bawahan warna hitam dengan
model A line simple, baju gamis putih, jilbab segi empat putih.
1.
Mukena warna putih bahan tidak tipis dan sajadah
ukuran standar.
1.
Gembok kecil 3 untuk menggembok lemari pakaian
dan kotak sepatu.
2.
Obat-obatan; minyak tawon, minyak kayu putih,
habbatussaudah, madu, dll
Berikut perlengkapan tambahan setelah
diterima:
1.
Snack; energen, dsb
1.
Map untuk menyimpan kartu-kartu penting
5.
Rak plastic kecil susun
6.
Stroley untuk membantu saat pindahan
7.
Jam tangan kecil, jam weker.
8.
Kertas kado dan isolasi untuk merapikan lemari.
9.
Sampul plastik untuk menyampuli buku-buku baru
0.
Spidol permanent untuk memberi nama semua
barangnya.
Setelah diterima, semua
perlengkapan itu akan ‘disensor’ oleh ustadzahnya. Sesuai dengan salah satu
prinsip Gontor, Simplicity, semua
memakai azas kesederhanaan. Untuk lebih menyesuaikan dan tak salah beli,
saranku, sebaiknya melengkapinya dengan beli di koperasi atau toko-toko sekitar
pondok. Semua ada.
Di pondok, apalagi dengan jumlah santri yang mencapai ribuan,
sekamar berbagi 30 anak, yang tak bisa dihindari adalah penyakit-penyakit yang biasanya
berhubungan dengan kebersihan diri dan
lingkungan. Paling ringan ya rambut kutuan itu. Makanya sisir kutu menjadi
salah satu benda wajib masing-masing santri. Penyakit lainnya adalah scabies atau orang lebih mengenalnya
dengan jarban. Jika dibiarkan bisa sangat merepotkan karena jemari tak bisa
ditekuk karena luka-lukanya. Untuk menyiasati, seorang ibu membagi trik dengan
cara menuangkan sabun cair anti septic ke dalam air mandi. Tentu saja
dituangnya tidak langsung di bak mandi yang besar sekali bersekat-sekat itu,
melainkan seember yang digunakan anak untuk mandi.
Mbak Siti yang perawat bahkan
sudah membagi copy resep untuk scabies
yang didapat dari dokter kulitnya. Obat salep racikan. Tapi kalau mau salep
yang sudah jadi juga ada.
Di Gontor, kartu debit juga kartu
kredit tidak berlaku. Semua manual, cash.
Jadi persiapkan uang cash banyak
kalau di sana. Tapi jangan khawatir, kalau kekurangan, di depan pondok ada ATM
bersama yang bisa menolong kita. Sedangkan di dalam, ada tabungan santriwati
yang bisa diambil sewaktu-waktu mereka membutuhkan untuk beli buku, bayar SPP
dan kebutuhan lain atau jajan. Jika kita tak sempat menyambangi, selain bisa
titip teman yang sedang menjenguk anaknya atau meminta tolong saudara yang
dekat, juga bisa dengan mengirim wesel ke pondok untuk anaknya. Ya, di Gontor,
kita seolah kembali ke tahun 80-an. Pakai wesel pos. J
Tentang perlengkapan mandi,
usahakan ember tempat menyimpan perlengkapan mandi-cuci tutupnya diberi gembok.
Caranya, lubangi salah satu sisi tutup tembus bibir ember. Sambung keduanya
dengan kawat. Lakukan sisi seberangnya, lubangi tembus, beri gembok untuk
menguncinya. Jika tak ada kawat, hubungkan saja sisi pertama tadi juga dengan
gembok kecil.
Saat aku bercerita tentang
melubangi ember dan tutupnya untuk digembok, suami berkomentar. “Sampai
segitunya?”
Ya. Sampai segitunya. Tapi jangan
salah. Tidak semua barang hilang karena diambil santri lainnya. Belum ada
seminggu mukim Ais sudah minta dibelikan sisir kutu, sandal, odol, sikat
pakaian. Odol karena tercebur di bak dan dia tak bisa mengambil. Sandal hilang
bukan karena diambil anak lain tapi karena kecerobohannya sendiri. Di Gontor,
jika sandal tak dimasukkan ke tas yang dibawa kemana-mana itu, meletakkannya
harus rapi. Jika tidak, alamat dilempar ke arah berbeda oleh ustadzah atau tukang kebunnya. Itu yang terjadi pada
sandal jepit Ais. Maunya biar aman ditaruh di bawah tanaman, tapi justru
menyalahi aturan karena tak rapi, disebarlah ke berbagai arah oleh petugasnya.
Pasangan sandal dua temannya yang senasib
berhasil ditemukan, tapi dia gagal menemukan sehingga harus beli lagi.
Begitu pula barang-barang lain.
Bisa jadi tidak hilang diambil santri lain tapi sebab kecerobohan anak kita
sendiri. Ada tempat dikumpulkannya barang-barang itu, tapi untuk mengambilnya
pasti mendapat hukuman dari ustadzahnya. Makanya mereka memilih bilang hilang
ke orang tua dan minta dibelikan lagi. Hehe.
Tentang pakaian, kurang lebih
sama. Kadang karena lupa atau tak sempat mengangkatnya dari jemuran, oleh
santri lain yang membutuhkan tempat menjemur, pakaian itu digeser begitu saja.
Atau karena tak pakai hanger, tertiup angin jatuh ke tanah. Tak diambil,
jadinya dianggap hilang. Meski tentu, ada saja santriwati yang memang panjang
tangan mengambil barang temannya.
Di semua tempat, kita akan selalu
menemukan ketidaksempurnaan. Tugas kita,
jika memang tidak bisa mengubahnya seperti di Gontor yang jelas ‘saklek’ tak
mau campur tangan orang luar, ya berdamai lah dan menyiasatinya. Salah satu
contohnya adalah dengan tips dan trik di atas. Yang jelas, kita harus banyak
bertanya dengan mereka yang sudah berpengalaman.
Tulisan part 3, akan bercerita tentang mengapa Gontor yang
kami pilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar