Translate

Selasa, 19 Agustus 2014

KE GONTOR APA YANG KAU CARI? PART 2



 Jumat, adalah hari libur di Gontor. Pagi, usai mandi, sebelum sholat subuh kusempatkan ke Bapenta meminta dibikinkan tasreh untuk anak-anak. Tasreh itu adalah secarik kertas kecil yang diberikan ke santriwati sebagai tiket dia untuk keluar. Berlaku dalam sehari. Wali yang hendak menemui anaknya harus mendaftar di bagian penerimaan tamu itu, mendaftar minta dipanggilkan nama santriwati, rayon dan kamarnya, asal daerah, kelas, nama wali santri, dan hubungan kekeluargaan. Setelah dicatat di buku petugas akan menyalin ke kertas kecil itu untuk disampaikan ke santriwati yang bersangkutan. Dengan tiket itu mereka bisa bertemu di bapenta. Santriwati tidak diijinkan keluar dari pagar pondok.

Sekitar jam 6 aku melangkahkan kaki ke depan pagar kedua. Berharap santriwati baru sudah boleh menemui keluarganya. Rupanya mereka sedang bersih-bersih. Setelahnya ada pengarahan. Tak sabar aku menunggu. Ingin menangis saja rasanya. Masak mau ketemu anak sendiri begini susahnya. Tapi aku tentu tak sendiri. Wali santri lain juga njrabing—berkerumun berdiri —di depan pagar. Meredakan resah kami mengobrol yang  sangat bermanfaat bagi newbie sepertiku. Hingga pukul 10 lebih baru satu persatu santriwati boleh melewati pos pemeriksaan tasreh. Di masing-masing tangan mereka membawa tas sandal. Tas sandal atau sepatu adalah hal vital di pesantren agar alas kaki mereka aman.

Pindah menunggu di sudut kamar bapenta putri, Jeni dan Nabila akhirnya muncul. Ais yang sejak mukim sudah mendapat teman-teman sekamar yang klik lebih sering bersama mereka daripada dengan ketiga teman satu sekolahnya yang asramanya berjauhan.

Meluncur dari pintu, Ais bersimpuh memelukku. Tangisnya pecah.

“Ada apa?” tanyaku khawatir.

“Teman-teman sekamarku nggak asyik. Seruan temanku di GP1.” Jawabnya berlinang air mata.

Ah, aku lega. Kukira ada sesuatu yang lebih penting. Kubesarkan hatinya, kuhibur. Sekamar 31 anak, masak nggak ada yang klik satupun? Dia juga beralasan banyak teman sekamarnya lulusan SMP, masuk kelas 1 intensif, sejajar dengan 1 SMA. Aku tersenyum, menawarkan sudut pandang baru kepadanya, menawarkan makan. Baru besoknya terjawab kenapa emosi Ais sedikit naik. Tidak biasanya dia cemen seperti itu.  Ternyata, dia sedang PMS. Alhamdulillah, masuk pondok, anakku diinisiasi juga olehNya, menjadi baligh. Sebelum-sebelumnya kami sudah banyak melakukan dialog tentang pendidikan seks. Ais waktu itu sepertinya tak sabar mendapatkan pengalaman haid pertama seperti yang dialami teman-temannya.
Ternyata, meskipun judulnya hari libur, santriwati tak bisa seenaknya berleha-leha. Sholat wajib berjamaah di masjid. Tugas orang tua, masih sama seperti kemarin, melengkapi kebutuhan anak. Karena tak semua barang bisa didapat di satu toko. Di GP2 ada 3 pilihan koperasi. Pertama koperasi di dalam pondok. Koperasi kedua ada di luar, di seberang jalan pesis di depan pondok. Koperasi ketiga, Royal berjarak sekitar 300m ke arah Sragen. Di depan Royal ini kalau pagi ada pasar kaget. Lumayan buat cari sarapan dengan menu di luar kantin Bapenta
.
Di GP1, ada MM, koperasi yang berada di dalam pondok. Selain keempat koperasi itu, di depan pondok banyak toko milik penduduk yang menyediakan kebutuhan santri selain seragam. Seragam hanya dijual di koperasi pondok, tapi seragam bekas ada yang dijual di toko milik penduduk.

Tips dan triks sehubungan kebutuhan santri.

Saat mendaftar, usai tes lisan dan kesehatan, calon santri diwajibkan mukim untuk pembekalan sebelum tes tulis. Peraturan tentang mukim ini disesuaikan setiap tahunnya. Untuk mukim, santri diwajibkan sudah memiliki barang-barang kebutuhan pribadi. Berikut yang bisa disiapkan, plus tambahan dari aku sendiri.
1.       Kasur dan perlengkapannya; bantal, guling, sprei, selimut
2.       Ember dan perlengkapan mandi (sabun  mandi, sikat gigi, odol, sabun cuci, sikat cuci, gayung, shampoo, hanger baju, dsb.)
3.       Peralatan makan; piring, sendok garpu, cangkir minum, botol persediaan air minum.
4.       Quran ukuran sedang
5.       Pakaian;  gamis atau atasan bawahan yang longgar, jilbab segi empat dengan bahan tebal warna putih, pakaian olah raga/training longgar, pakaian tidur 2 pieces bawahannya celana.
6.       Sisir kutu, gunting kuku.
7.       Kosmetik; cermin kecil, bedak, sisir, sabun wajah, obat jerawat, parfum , tissue, cotton bud
8.       Tas sandal, sandal, sepatu pantofel hitam dengan hak 2 cm, sepatu olah raga.
9.       Baju ‘wajib’ ; rok bawahan warna hitam dengan model A line simple, baju gamis putih, jilbab segi empat putih.
1.   Mukena warna putih bahan tidak tipis dan sajadah ukuran standar.
1.   Gembok kecil 3 untuk menggembok lemari pakaian dan kotak sepatu.
2.   Obat-obatan; minyak tawon, minyak kayu putih, habbatussaudah, madu, dll

Berikut perlengkapan tambahan setelah diterima:
1.   Snack; energen, dsb
1.   Map untuk menyimpan kartu-kartu penting
5.   Rak plastic kecil susun
6.   Stroley untuk membantu saat pindahan
7.   Jam tangan kecil, jam weker.
8.   Kertas kado dan isolasi untuk merapikan lemari.
9.   Sampul plastik untuk menyampuli buku-buku baru
0.   Spidol permanent untuk memberi nama semua barangnya.

Setelah diterima, semua perlengkapan itu akan ‘disensor’ oleh ustadzahnya. Sesuai dengan salah satu prinsip Gontor, Simplicity, semua memakai azas kesederhanaan. Untuk lebih menyesuaikan dan tak salah beli, saranku, sebaiknya melengkapinya dengan beli di koperasi atau toko-toko sekitar pondok. Semua ada.
Di pondok, apalagi dengan jumlah santri yang mencapai ribuan, sekamar berbagi 30 anak, yang tak bisa dihindari  adalah penyakit-penyakit yang biasanya berhubungan dengan  kebersihan diri dan lingkungan. Paling ringan ya rambut kutuan itu. Makanya sisir kutu menjadi salah satu benda wajib masing-masing santri. Penyakit lainnya adalah scabies atau orang lebih mengenalnya dengan jarban. Jika dibiarkan bisa sangat merepotkan karena jemari tak bisa ditekuk karena luka-lukanya. Untuk menyiasati, seorang ibu membagi trik dengan cara menuangkan sabun cair anti septic ke dalam air mandi. Tentu saja dituangnya tidak langsung di bak mandi yang besar sekali bersekat-sekat itu, melainkan seember yang digunakan anak untuk mandi.
Mbak Siti yang perawat bahkan sudah membagi copy resep untuk scabies yang didapat dari dokter kulitnya. Obat salep racikan. Tapi kalau mau salep yang sudah jadi juga ada.

Di Gontor, kartu debit juga kartu kredit tidak berlaku. Semua manual, cash. Jadi persiapkan uang cash banyak kalau di sana. Tapi jangan khawatir, kalau kekurangan, di depan pondok ada ATM bersama yang bisa menolong kita. Sedangkan di dalam, ada tabungan santriwati yang bisa diambil sewaktu-waktu mereka membutuhkan untuk beli buku, bayar SPP dan kebutuhan lain atau jajan. Jika kita tak sempat menyambangi, selain bisa titip teman yang sedang menjenguk anaknya atau meminta tolong saudara yang dekat, juga bisa dengan mengirim wesel ke pondok untuk anaknya. Ya, di Gontor, kita seolah kembali ke tahun 80-an. Pakai wesel pos. J

Tentang perlengkapan mandi, usahakan ember tempat menyimpan perlengkapan mandi-cuci tutupnya diberi gembok. Caranya, lubangi salah satu sisi tutup tembus bibir ember. Sambung keduanya dengan kawat. Lakukan sisi seberangnya, lubangi tembus, beri gembok untuk menguncinya. Jika tak ada kawat, hubungkan saja sisi pertama tadi juga dengan gembok kecil.

Saat aku bercerita tentang melubangi ember dan tutupnya untuk digembok, suami berkomentar. “Sampai segitunya?”

Ya. Sampai segitunya. Tapi jangan salah. Tidak semua barang hilang karena diambil santri lainnya. Belum ada seminggu mukim Ais sudah minta dibelikan sisir kutu, sandal, odol, sikat pakaian. Odol karena tercebur di bak dan dia tak bisa mengambil. Sandal hilang bukan karena diambil anak lain tapi karena kecerobohannya sendiri. Di Gontor, jika sandal tak dimasukkan ke tas yang dibawa kemana-mana itu, meletakkannya harus rapi. Jika tidak, alamat dilempar ke arah berbeda oleh ustadzah  atau tukang kebunnya. Itu yang terjadi pada sandal jepit Ais. Maunya biar aman ditaruh di bawah tanaman, tapi justru menyalahi aturan karena tak rapi, disebarlah ke berbagai arah oleh petugasnya. Pasangan sandal dua temannya yang senasib  berhasil ditemukan, tapi dia gagal menemukan sehingga  harus beli lagi.

Begitu pula barang-barang lain. Bisa jadi tidak hilang diambil santri lain tapi sebab kecerobohan anak kita sendiri. Ada tempat dikumpulkannya barang-barang itu, tapi untuk mengambilnya pasti mendapat hukuman dari ustadzahnya. Makanya mereka memilih bilang hilang ke orang tua dan minta dibelikan lagi. Hehe.

Tentang pakaian, kurang lebih sama. Kadang karena lupa atau tak sempat mengangkatnya dari jemuran, oleh santri lain yang membutuhkan tempat menjemur, pakaian itu digeser begitu saja. Atau karena tak pakai hanger, tertiup angin jatuh ke tanah. Tak diambil, jadinya dianggap hilang. Meski tentu, ada saja santriwati yang memang panjang tangan mengambil barang temannya.

Di semua tempat, kita akan selalu menemukan ketidaksempurnaan.  Tugas kita, jika memang tidak bisa mengubahnya seperti di Gontor yang jelas ‘saklek’ tak mau campur tangan orang luar, ya berdamai lah dan menyiasatinya. Salah satu contohnya adalah dengan tips dan trik di atas. Yang jelas, kita harus banyak bertanya dengan mereka yang sudah berpengalaman.

Tulisan part 3, akan bercerita tentang mengapa Gontor yang kami pilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar