Tiket yang mestinya untuk Minggu
malam ku reschedule. Kuajukan Sabtu
malam jam 8. Semua perlengkapan Ais nyaris terpenuhi. Membayar lemari, SPP
beberapa bulan ke depan, uang jajan dan kebutuhan dia lainnya sudah aku amankan
di tabungan santriwati. Aku bahkan sempat minta diberi kesempatan mencucikan
dua stel pakaiannya dalam waktu yang tersisa.
Sabtu pagi, dimulai dengan
pengarahan dari pimpinan pondok GP2 sekaligus pengumuman pembagian kelas.
Gontor, menganut system ranking seperti di SMPku dulu. Kelasnya berurut dari B
berdasarkan nilainya. Tidak ada kelas A. di GP2, satu kelas berisi 20 anak. Di
GP1 satu kelas 30 anak. Nabila, seperti yang diharapkannya masuk kelas D. Jeni
kelas F, sedangkan Ais kelas B. Masa nyantri di Gontor untuk jenjang SMP-SMA 6
tahun plus setahun masa pengabdian. Saat masa pengabdian, santriwati bisa
ditempatkan di mana saja. Bahkan di luar Jawa.
Jika ingin masa belajar yang
lebih singkat bisa mencoba ujian akselerasi untuk langsung naik ke kelas 3 saat
kenaikan kelas 1. Syaratnya nilai minimal 8. Nilai di Gontor berbeda dengan di
sekolah atau pesantren luar yang bisa dibulatkan atau di mark-up. Begitu kata pimpinan pondok dalam pengarahan beliau saat
pendaftaran. Tak jarang nilai 2 bertebaran. Itulah mengapa tak ada kelas A. Semua
nilai apa adanya. Ikut kelas akselerasi artinya juga siap belajar dobel karena
meski naik kelas 3, santriwati juga belajar pelajaran kelas 2. Kelengkapan
buku-buku dari kelas satu baik buku cetak maupun buku catatan bahkan menjadi
salah satu point penilaian kelulusan nantinya.
Sekitar jam 9, di saat istirahat
yang hanya 15 menit anak-anak datang ke Bapenta. Sarapan nasi pecel beli di
pasar kaget. Aku lega, Ais bercerita sudah mendapat teman sekamar yang klik. Lemari mereka bersebelahan dan dia
dibantu merapikan memasang kertas kado sebagai alas di lemarinya. Sehari
sebelumnya, kami berbalas kata di secarik kertas.
Kalau aku pengin
curhat, curhat sama siapa?
Allah. Tulisku
balas.
Aku juga bangga Ais masuk kelas
B. Itu menunjukkan kebangkitannya setelah terjun bebas di UN kemarin.
Setidaknya, dengan masuk kelas B dia bisa lebih termotivasi untuk mencoba
akselerasi, berada di lingkungan yang kondusif. Penganut paham bahwa setiap
anak tak bisa disamaratakan, aku setuju dengan system ranking seperti itu.
Terlepas bagaimana kelas yang rankingnya lebih rendah memandang kami, dengan
teman sekelas yang cara menangkap mata pelajaran nyaris sama kecepatannya, kami
jadi lebih termotivasi.
Lalu balik ke awal, mengapa
Gontor yang berada sekitar 725 km dari Depok yang kupilih sebagai tempat
mempercayakan pendidikan anakku?
Seperti alasan seorang ibu asal
Sumatra tinggal di Bintaro yang kembali menitipkan anak keduanya ke Gontor,
beliau berkata, “Ini adalah mutiara!”
Air mata meleleh di pipinya. Bibirnya
bergetar menahan emosi saat bercerita. Jawaban itu diberikan saat kutembak, ‘kenapa memondokkan
anak nomor dua ke Gontor jika dia sudah pernah punya pengalaman pahit dengan si
sulung di lembaga yang sama?’
Anak pertamanya masuk Gontor saat
berusia 10 tahun, lulus SD. Anak sekecil itu, dengan disiplin yang ketat, jauh
dari orang tua, mengalami masa-masa sulit sehingga akhirnya pindah ke pondok
yang lebih ‘ramah’ di tahun kelimanya di Gontor. Belajar dari si kakak, adiknya
dimasukkan ke Gontor saat sudah lulus SMP dan sebelumnya sempat mondok khusus penghafal
Quran. Alasannya, memberi kesiapan lebih secara fisik dan mental kepada anak. Juga,
dengan anaknya sudah hafal sekian juz Al Quran dari pesantren sebelumnya,
jalannya untuk mendapat beasiswa ke Kairo atau Madinah menjadi lebih terbuka.
Ya, bagi kami, Pondok Modern
Darussalam Gontor adalah yang terbaik, yang paling pas buat kebutuhan Ais.
Meski itu artinya kami harus terpisah sekian jauhnya, bisa bertemu lama
setengah tahun sekali saat liburan Maulid Nabi sebanyak 10 hari dan 50 hari--dimulai
10 hari sebelum Ramadhan sampai 10 Syawal.
Prinsip Gontor, dia berdiri di
atas semua golongan. Dan dia tak mau diatur oleh siapapun. Saklek, kepedean, ya. Itulah kata Pak Kyai. Jika tidak suka,
silahkan cari yang lain. Prinsip-prinsip ‘kaku’ seperti itulah yang membuatnya
bisa bertahan hampir 90 tahun. Gontor didirikan sejak tahun 1926. Awalnya hanya
untuk putra, di Ponorogo. Sekarang sudah banyak cabang dan ada yang untuk putri
juga.
Pondok Gontor putra di Jawa ada
5. Kampus putra 1 dan 2 di Ponorogo, GPa3 di Kediri, GPa 5 di Banyuwangi, GPa 6
di Magelang. Kampus putra di luar Jawa
ada 7 tersebar di Lampung, Aceh, Sumatra Barat, Tanjung Jabung Timur, Poso.
Sedangkan Gontor Putri di Jawa
ada 4. GP1, 2, dan 3 di Mantingan. GP5 di Kediri. Di luar Jawa ada 3, di Poso
dan Riau.
Ke Gontor Apa yang Kau Cari?
Pertanyaan mendasar. Bisa dijawab
dengan klise ilmu agama, life skill,
atau apa. Tapi hanya Dia yang benar-benar tahu gerak hati hambaNya.
Yang jelas, jika ingin yang
enak-enak, bukan Gontor tempatnya. Demikian kata Kyai pimpinan GP2. Tidak enak
karena selama 6 tahun santriwati harus puasa hape, tivi, dan semacamnya itu.
Tidak enak karena harus sudah bangun jam 3.30 pagi. Sholat tahajud, sholat
subuh, belajar, dan sebagainya hingga jam tidur lagi 22.00. Tidak ada tidur
siang. Makan seadanya, antri pula. Tidur di lantai beralaskan kasur, berbagi
ruangan dengan 30 santriwati lainnya. Belum pelajaran seabrek yang harus
diserap. Dalam koridor disiplin yang cukup ketat. Jika tak kuat niat, tak kuat
fisik, bisa tumbang tengah jalan.
Hari pertama di GP2, Ais mengeluh
banyak sekali peraturannya. Kubilang, peraturan dibuat sudah disesuaikan dengan
daya tahan santriwatinya. Tak mungkin untuk mendholimi. Santri baru kaget
karena selama ini sudah terlalu lama hidup ‘longgar’. Lalu kuberi Ais
contoh-contoh kelonggaran yang kuberikan di rumah.
“Ikuti saja,” saranku. “Nanti kalau sudah terbiasa kan enjoy saja. ”
Perjalanan pendidikan Ais sendiri
hingga akhirnya masuk di Gontor sudah melalui pemikiran yang cukup panjang
dengan berbagai pertimbangan. Dimulai ketika dia masuk SD negri bersamaan kami
pindah ke Depok. Tak ada waktu untuk mencarikannya SDIT. Dan benarlah, aku tak
puas menyekolahkannya di SDN. Tahun pelajaran baru, kupindah dia ke MIN Al
Azhar Asy Syarif di Jagakarsa. Mengulang kelas 1. Meski judulnya negri,
kurikulumnya perpaduan dengan kurikulum dari Al Azhar Asy Syarif Kairo. Jadi
raportnya 2. Satu dari Diknas, satu pakai Arab gundul dari Kairo. Jujur, sempat
tergoda untuk memasukkan Ais ke sekolah alam bahkan home schooling di awal-awal dia mau masuk SD, aku sempat pula
kasihan dia harus menelan segitu banyak materi. Tapi Alhamdulillah Ais diberi
kemudahan menjalani itu semua. Bahkan saking enjoynya sekolah, dia bĂȘte banget
kalau libur tak ada kegiatan.
Kelas IV, kami sudah mulai kasak
kusuk hendak kemana selepasnya MIN. Pilihan sempat jatuh ke School of Universe. Pendirinya Pak Lendo
Novo, penggagas sekolah alam Indonesia. Misi visinya salah satunya kurang lebih
adalah mencetak pengusaha muslim sebanyak-banyaknya. Namun begitu Ais kelas VI
kami berubah pikiran. Ais ingin meneruskan ke Matsasya. Jenjang SMP dari Al
Azhar Asy syarif. Masih satu kompleks. Beberapa sahabatnya meneruskan di sana.
Pilihan kedua di MTsN 4 Srengseng Sawah. Namun mempertimbangkan faktor
pergaulan yang itu-itu saja yang kurang ‘mengayakan’ dia, dan kebersinambungan
kurikulum, dua pilihan itu kami coret.
Pilihan selanjutnya Islamic boarding school. Kasak kusuk
mencari informasi, kami sempat survey di beberapa tempat. Ada yang langsung
membuatku ilfil begitu melihat kamar berantakan dengan botol bekas air mineral
begitu saja dibiarkan tak dibuang di tempat sampah sebelum anak-anak liburan.
Ya, bagiku bagaimana cara kita memperlakukan sampah, memperlakukan lingkungan sekitar
kita, merupakan cerminan siapa kita.
Ada yang sudah bagus dan rapi,
tapi terganjal soal bahasa. Bahasa Arab dan Inggris tidak menjadi bahasa
sehari-hari. Padahal dua bahasa itu yang menurutku paling penting dipelajari.
Dan tak ada cara tercepat dan termudah untuk memperlajarinya selain dengan
mengaplikasikannya. Percakapan dalam Bahasa Arab pula yang membuat Ais makin
mantab ke Gontor. Malam itu, saat dia diantar survey di GP2 oleh seorang ukhti.
Ijinkan kututup curhat panjangku
ini dengan dua hal. Pertama, seperti yang kukatakan terus terang pada Mbak Siti
saat kami dalam perjalanan ke pasar di Mantingan, bahwa memasukkan Ais ke
Gontor seperti yang kurasakan saat aku pertama memutuskan mengenakan jilbab
sekitar 22 tahun yang lalu. Khawatir akan melepasnya suatu saat. Sekarang,
khawatir jika Ais tidak bisa bertahan dan keluar di tengah jalan. Nasehat Mbak
Siti, berdoa, pasrah, ikhlas, serahkan padaNya.
Ya, kita hanya bisa berusaha. Semua berproses, tidak terjadi
dengan tiba-tiba. Bahkan revolusi itu sendiri merupakan sebuah akumulasi dari
rentetan peristiwa. Tidak sim salabim. Apalagi kun fa yakun.
Yang kedua, kata seorang sahabat
tentang anak semata wayangnya yang dilepas masuk pesantren; tabungan kami hanya seorang.
Ya, anak adalah tabungan,
investasi, dalam makna positif. Mendampinginya hingga dewasa, menyempurnakan
kewajiban terhadapnya adalah sesuatu yang sudah seharusnya. Selayaknya hujan
turun ke bumi, matahari terbit di pagi hari. Tak perlu diungkit, jangan
dimintai balasan kelak kita sudah renta. Jika akhirnya anak-anak kita membalas
semua yang pernah kita berikan kepadanya; cinta, pengorbanan, materi,
perhatian, doa,… semua adalah karena kita telah menabung hal-hal baik padanya.
Dan tak ada kemanusiaan yang lebih manusiawi selain yang bersandar pada
perintah Ilahi; nilai-nilai agama.
Maka kupilih pendidikan yang
berlandaskan agama kepada anak-anakku. Dunia boleh bahkan wajib diusahakan.
Tapi dia bisa menjadi ikutan jika kita bersungguh-sungguh mengusahakan akhirat.
Sedangkan akhirat tidak bisa ikut begitu saja jika kita sibuk mengusahakan
dunia.
Sebagai ibu, aku lebih resah jika
membayangkan anakku tergantung pada gadget
dengan segala godaan medsos dan dunia maya tanpa batas yang cenderung permisif,
atau nonton tivi dengan sinetron yang meracuni, atau kelelahan dengan mata
pelajaran umum yang nantinya hanya segelintir saja memengaruhi kehidupan dia
selepas masa sekolah. Aku tidak rela membayangkan anakku menggerai rambutnya,
berpakaian dengan mode terbaru yang mempertontonkan aurat, dan berjalan-jalan di mall bersama
teman-temannya, nonton bioskop, atau hanya sekedar hang out. Tidak.
Aku lebih rela anakku dipaksa
bangun sebelum subuh, menundukkan dahinya di sajadah, mengadukan resah pada
Pemilik Semua Jawaban. Aku lebih rela anakku terpenjara di pagar-pagar Pondok,
imun dari godaan lawan jenis di masa pubernya, menghafal ilmu agama dan ilmu
umum, menyalurkan bakat dan minatnya di kepramukaan, olah raga, seni, dan
sebagainya yang tersedia di Gontor. Aku juga lebih rela tubuh anakku yang sudah
baligh tersembunyi di balik pakaian dan jilbab dengan model jadul. Bukan hijab
modern dengan segala atribut tabarruj.
Semoga Dia
mempermudah langkah kami, menguatkan niat kami. Aminnn…
Tanah Baru, 18 Agustus
2014 20.05
izin share boleh bu...?
BalasHapussilakan Mas. :)
Hapus