Bagaimana rasanya menghadapi hari pemotretan materi buku
craft? Jujur, seperti hendak maju ujian. Hasil karya kita--yang olehku dan
mungkin sebagian besar crafter
lainnya dianggap nyaris sama dengan anak-anak sendiri—akan diteropong, dicari angle tercantiknya untuk diabadikan
dalam bentuk gambar. Seorang teman
fotografer berkata bahwa kekuatan sepotong foto adalah bahwa dia bisa lebih
banyak berkata-kata, bercerita, daripada cerita yang tersusun dalam sebuah
cerpen atau novel sekalipun.
Selain soal kualitas produk atau materi bukuku itu, ada pula
satu hal yang membuatku mulas tak karuan, dada berdebar bahkan hanya dengan
membayangkannya saja—dan itu masih kurasakan hingga sekarang—yang berhubungan
dengan pengalamanku belajar akhir-akhir ini. Soal itu, akan kuceritakan nanti
saja ya… Tapi enggak janji juga nding
soalnya bisa jadi sensitive bagi sebagian orang. Takutnya dianggap riya.
Oke, back to pemotretan produk, tidak semua penerbit meminta
mereka yang melakukannya. Ada penerbit yang terima hasil potret kita sendiri. Untuk
Demedia, group Media Kita, mereka biasa meminta produk dipotret oleh mereka
dengan alasan keseragaman. Waktunya ditentukan setelah deal dengan editor. Jadi
tahapan yang kulalui waktu itu adalah setelah aku mengirim naskah, menunggu
sekitar (hanya) 2 minggu untuk ditelpon penerbit dengan kabar gembira diterima
untuk diterbitkan di tempat mereka, aku diminta datang ke kantor mereka untuk ‘ngobrol’
menyatukan kemauan 2 pihak.
Mbak Arie dan Mas Ridwan sibuk menata produk |
Dari hasil obrolan tersebut, salah satunya adalah deal soal
tanggal pemotretan yang artinya sama dengan deadline aku membuat materi, yang
jauh lebih banyak dari yang kukirim di naskah. ;p
Lalu hal apa saja yang harus kusiapkan untuk pemotretan
selain produk:
1.
Alat dan bahan, karena meski mungkin setiap
orang sudah tahu jarum, belum tentu setiap orang tahu perbedaan jarum sulam dan
jarum jahit biasa. Apalagi untuk alat dan bahan yang tak digunakan setiap orang
misal rotary cutter atau cutting mat.
2.
Alat penunjang atau aksesoris.
Meski disebut aksesoris, dia justru sangat
vital dalam pemotretan karena dia berfungsi untuk mengeluarkan ‘nyawa’ dari
produk kita.
Jelasnya begini, aku membuat materi salah
satunya adalah vas dari kertas Koran bekas. Nah, akan lebih cantik dipotret
jika materi yang kubuat itu benar-benar tampak ‘bisa digunakan’ dalam kondisi
riil. Artinya, aku harus menyiapkan bunga. Dan karena aku lebih suka yang alami
daripada fake, maka malam sebelum
hari pemotretan aku menyempatkan diri ke depan pasar Depok Jaya, membeli seikat
bunga krisan kuning yang terbukti membuat aura vas koran bekasku keluar.
vas bunga dari koran bekas yang belum kufinishing |
Begitu pun untuk teman pelengkap tas
belanja yang kubuat, aku sengaja membawa sayur dan buah. Apel, pear, brokoli,
wortel, paprika, stawberi—yang setelah
sesi pemotretan tas usai jadi cemilan kami, hehehe—dan sayuran lainnya. Pilih sayur
atau buah dengan penampakan yang bagus. Misal di kulkas aku hampir selalu
menyetok wortel lokal selain buat masak juga buat makan hamster—curcol, hihihi—tapi
untuk pemotretan aku sengaja membeli wortel import yang lebih besar dan orange.
Jangan khawatir belanja lebih karena toh ini untuk sekali dan bahan-bahan tadi
bisa kita manfaatkan juga setelahnya.
3.
Fisik yang fit karena pemotretan bisa
berlangsung seharian atau bahkan 2 hari. Dan itu jelas menguras energy dan
emosi tingkat tinggi. Apalagi jika
editornya atau fotografernya, atau bahkan kita sendiri agak-agak perfeksionis. Hehehe…
4.
Alat-alat lain yang mungkin tak masuk daftar
alat dan bahan atau aksesoris penunjang tapi juga vital misal selotip, double
tape, cutter, dsb.
Lalu bagaimana kita tahu semua kebutuhan di atas? Tentu saja
dengan mempersiapkan tema atau konsep potret yang hendak kita ambil untuk
setiap item lalu membuat daftar kebutuhannya.
Misal untuk sepeda dari koran bekas, aku sudah membuat
boneka dari kain sebagai pelengkapnya. Jadi tema ceritanya sepasang kekasih—karena
sepeda yang kubuat versi laki-laki dan perempuan—sedang pacaran naik sepeda
dari koran bekas. Hehehe…
Mala dan prototipe sepeda koran bekas. |
Tapi, saran di atas tentu saja kembali ke produk atau materi
yang kita buat. Ada beberapa yang mungkin bisa tanpa alat penunjang, misal
mainan anak-anak. Untuk yang ini, yang lebih kita butuhkan adalah pemain figuran,
seperti di bukuku lainnya yang rencana diterbitkan oleh Gramedia. Yang jadi
figuran anak-anakku sendiri, difoto di rumah sendiri, yang memfoto aku sendiri.
Hihihi..
Ya, ada kalanya kita harus berpikir secara garis besar, tapi
untuk kesuksesan pemotretan, sebaiknya kita mempersiapkan sedetail mungkin. Selamat
membuat buku craft, Teman!:)
Tanah Baru, 10 June
2013, 04:11
Thanks to Mbak Arie n Mas Ridwan atas pengalaman pemotretan yang menyenangkan.
keren! jadi dari koran bekas bisa dibuat apa aja?
BalasHapusMacam-macambak. tergantung bentuknya. Selama ini sih aku kalau nggak kubikin sepeda, vas, atau keranjang.
Hapus