Translate

Senin, 10 Juni 2013

Mempersiapkan Pemotretan untuk Buku Craft




Bagaimana rasanya menghadapi hari pemotretan materi buku craft? Jujur, seperti hendak maju ujian. Hasil karya kita--yang olehku dan mungkin sebagian besar crafter lainnya dianggap nyaris sama dengan anak-anak sendiri—akan diteropong, dicari angle tercantiknya untuk diabadikan dalam bentuk gambar.  Seorang teman fotografer berkata bahwa kekuatan sepotong foto adalah bahwa dia bisa lebih banyak berkata-kata, bercerita, daripada cerita yang tersusun dalam sebuah cerpen atau novel sekalipun. 

Selain soal kualitas produk atau materi bukuku itu, ada pula satu hal yang membuatku mulas tak karuan, dada berdebar bahkan hanya dengan membayangkannya saja—dan itu masih kurasakan hingga sekarang—yang berhubungan dengan pengalamanku belajar akhir-akhir ini. Soal itu, akan kuceritakan nanti saja ya… Tapi enggak janji juga nding soalnya bisa jadi sensitive bagi sebagian orang. Takutnya dianggap riya.

Oke, back to pemotretan produk, tidak semua penerbit meminta mereka yang melakukannya. Ada penerbit yang terima hasil potret kita sendiri. Untuk Demedia, group Media Kita, mereka biasa meminta produk dipotret oleh mereka dengan alasan keseragaman. Waktunya ditentukan setelah deal dengan editor. Jadi tahapan yang kulalui waktu itu adalah setelah aku mengirim naskah, menunggu sekitar (hanya) 2 minggu untuk ditelpon penerbit dengan kabar gembira diterima untuk diterbitkan di tempat mereka, aku diminta datang ke kantor mereka untuk ‘ngobrol’ menyatukan kemauan 2 pihak.
Mbak Arie dan Mas Ridwan sibuk menata produk

Dari hasil obrolan tersebut, salah satunya adalah deal soal tanggal pemotretan yang artinya sama dengan deadline aku membuat materi, yang jauh lebih banyak dari yang kukirim di naskah. ;p

Lalu hal apa saja yang harus kusiapkan untuk pemotretan selain produk:
1.       Alat dan bahan, karena meski mungkin setiap orang sudah tahu jarum, belum tentu setiap orang tahu perbedaan jarum sulam dan jarum jahit biasa. Apalagi untuk alat dan bahan yang tak digunakan setiap orang misal rotary cutter atau cutting mat.

2.       Alat penunjang atau aksesoris.
Meski disebut aksesoris, dia justru sangat vital dalam pemotretan karena dia berfungsi untuk mengeluarkan ‘nyawa’ dari produk kita.
Jelasnya begini, aku membuat materi salah satunya adalah vas dari kertas Koran bekas. Nah, akan lebih cantik dipotret jika materi yang kubuat itu benar-benar tampak ‘bisa digunakan’ dalam kondisi riil. Artinya, aku harus menyiapkan bunga. Dan karena aku lebih suka yang alami daripada fake, maka malam sebelum hari pemotretan aku menyempatkan diri ke depan pasar Depok Jaya, membeli seikat bunga krisan kuning yang terbukti membuat aura vas koran bekasku keluar.
vas bunga dari koran bekas yang belum kufinishing

Begitu pun untuk teman pelengkap tas belanja yang kubuat, aku sengaja membawa sayur dan buah. Apel, pear, brokoli, wortel, paprika,  stawberi—yang setelah sesi pemotretan tas usai jadi cemilan kami, hehehe—dan sayuran lainnya. Pilih sayur atau buah dengan penampakan yang bagus. Misal di kulkas aku hampir selalu menyetok wortel lokal selain buat masak juga buat makan hamster—curcol, hihihi—tapi untuk pemotretan aku sengaja membeli wortel import yang lebih besar dan orange. Jangan khawatir belanja lebih karena toh ini untuk sekali dan bahan-bahan tadi bisa kita manfaatkan juga setelahnya.

3.       Fisik yang fit karena pemotretan bisa berlangsung seharian atau bahkan 2 hari. Dan itu jelas menguras energy dan emosi  tingkat tinggi. Apalagi jika editornya atau fotografernya, atau bahkan kita sendiri agak-agak perfeksionis. Hehehe…

4.       Alat-alat lain yang mungkin tak masuk daftar alat dan bahan atau aksesoris penunjang tapi juga vital misal selotip, double tape, cutter, dsb. 

Lalu bagaimana kita tahu semua kebutuhan di atas? Tentu saja dengan mempersiapkan tema atau konsep potret yang hendak kita ambil untuk setiap item lalu membuat daftar kebutuhannya.
Misal untuk sepeda dari koran bekas, aku sudah membuat boneka dari kain sebagai pelengkapnya. Jadi tema ceritanya sepasang kekasih—karena sepeda yang kubuat versi laki-laki dan perempuan—sedang pacaran naik sepeda dari koran bekas. Hehehe…
Mala dan prototipe sepeda koran bekas.



Tapi, saran di atas tentu saja kembali ke produk atau materi yang kita buat. Ada beberapa yang mungkin bisa tanpa alat penunjang, misal mainan anak-anak. Untuk yang ini, yang lebih kita butuhkan adalah pemain figuran, seperti di bukuku lainnya yang rencana diterbitkan oleh Gramedia. Yang jadi figuran anak-anakku sendiri, difoto di rumah sendiri, yang memfoto aku sendiri. Hihihi..

Ya, ada kalanya kita harus berpikir secara garis besar, tapi untuk kesuksesan pemotretan, sebaiknya kita mempersiapkan sedetail mungkin. Selamat membuat buku craft, Teman!:)

Tanah Baru, 10 June 2013, 04:11
Thanks to Mbak Arie n Mas Ridwan atas pengalaman pemotretan yang menyenangkan.

2 komentar:

  1. keren! jadi dari koran bekas bisa dibuat apa aja?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Macam-macambak. tergantung bentuknya. Selama ini sih aku kalau nggak kubikin sepeda, vas, atau keranjang.

      Hapus