Translate

Rabu, 03 Juni 2015

Trik Sederhana Seharga Tiga Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu



Salah satu hikmah silaturahmi adalah memperpanjang rejeki. Silaturahmi yang kumaksudkan di sini bukan dalam konteks agama yang makna sebenarnya menyambung tali persaudaraan antar saudara sekandung (satu rahim) yang terputus melainkan lebih ke pertemanan secara umum.

Salah satu ‘satu rahimku’ adalah komunitas Crafter Depok yang awal berdirinya berasal dari dua ‘kubu’ komunitas Crafter yang punya cukup taring waktu itu (sekitar 2010-an); Indonesian Crafter dan Ibu-ibu Hobi Craft. Persamaan visi dan misi menjadikan kami erat bergandengan hingga kini. Tak peduli media apa yang menjadi ruahan ekspresi seni kami.

Geliat medsos yang makin genit membuat pelaku craft semakin meroyak. Termasuk pelaku-pelaku bisnis handycraft/handmade yang melirik komunitas-komunitas craft sebagai sumber mencari produk-produk bagus berkualitas dan jelas unik. Pun, menjadikan pelaku handmade newbie sebagai pangsa pasar yang prospektif untuk digarap. Ketertarikan crafter kawakan maupun ‘crafter bisnisman’ menjadikan event-event workshop (kursus singkat) mekar bersemi bagai bunga matahari di jam sembilan pagi. Mekar, indah, menarik untuk diikuti. Ayaran Craft, termasuk salah satu pelaku jasa workshop sekitar setahun ini. Meski idenya sendiri sudah berbenih sejak 2008.

Beberapa teman, ada yang mengaku lebih mudah menerima ilmu dengan mengikuti berbagai workshop. Meski skill dia sebenarnya sudah cukup untuk mendedah pola dan mengeksekusi bahkan membuka workshop sendiri. Nah, dari hikmah silaturahmi inilah muncul ide utama tulisan ini, berbagai macam workshop yang pernah dia ikuti.
Jenis yang pertama, murni bisnis. Jika mengikuti workshop jenis ini, yang langsung jelas kelihatan adalah harganya yang mahal. Meski, soal harga workshop sendiri pasti tiap penyelenggara sudah mempunyai hitungannya. InshaAllah nanti saya tulis topik khusus tentang ini. Sebelumnya, mari kita sepakati bersama bahwa harga mahal dan murah itu memang relative, tapi ada standar khusus yang bisa kita jadikan titik ukur di sini. Misal jenis bahan. Linen import dan kanvas tentu beda, sebagaimana katun jepang tentu berbeda harga dengan katun lokal.

Sebenarnya kalau dibilang murni bisnis tidak tepat juga sih, karena jiwa bisnis sebenarnya bukan hanya short terms, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya sesaat, tapi juga long terms; Good relationship dengan pelanggan.

Contoh kasus workshop jenis ini adalah seperti cerita teman, WS membuat pouch dengan harga  dua ratus dua puluh lima ribu, dengan model sederhana, dan ternyata tidak pakai bahan pelapis. Si teman--sebut saja D--yang memang iseng ingin tahu karakter pemberi WS tentu kecewa.  Meski niatnya hanya ingin merasakan WS sama si A, tapi sebagai crafter lawas yang sudah pintar dan tahu berbagai macam bahan dia merasa lebih kecewa. Terlalu hitung-hitungannya si pemberi WS selain dinilai dari teknisnya (bahan dll) juga dirasakan dari jam WS yang dimulai jam 13.00 (sehingga tak perlu menyediakan makan siang),  snack disediakan di piring pas dua biji untuk tiap orang, dan air minum yang dibatasi.

Jenis kedua, bisnis dan kekeluargaan. Ini tengah-tengah. Ayaran Craft memposisikan diri di sini. Ada hitung-hitungan harga dan keuntungan yang harus didapat, tapi juga tak terlalu strict atau pelit soal memberi ilmu dan konsumsi. Bahkan pada beberapa kasus, Ayaran Craft membebaskan semua biaya, termasuk bahan, sharing ilmu, dan konsumsi.

Terlalu strict soal ilmu misalnya, setelah WS model satu, si pelanggan tak boleh konsultasi model yang lain. Di Ayaran Craft seorang pelanggan yang pernah WS satu model tas, saat dia datang ke bengkel untuk membeli bahan,--ya, Ayaran juga menyediakan aksesoris dan bahan ws terutama tas handmade—dia bebas konsul soal model tas lainnya. Hanya, memang untuk membagi tutorial dan tricks n tips di akun medsos  Emak Ayaran masih belum bisa bebas terkendala urusan domestik lainnya.

Salah satu contoh lagi pemberi WS jenis ini lokasinya di Cibubur. Emak Ayaran pernah menimba ilmu di sana dengan seorang sensei ‘import’ dari Jepang (J) dan beberapa kali membeli barang di toko onlinenya. Harga WS yang dipatoknya memang relative mahal. Tapi, kata orang Jawa, ono rego ono rupo, ada harga ada kualitas. Salah satunya adalah karena bahannya yang import punya. Secara bisnis, itung-itungannya dapat. Kalau tidak salah tahun ini si MC ini (nggak usah sebut nama pasti udah pada tahu dong… hehe) ulang tahun ke lima. Kekeluargaannya pun dapat karena si Mbak pemilik n partner orangnya baik.

Jenis ketiga, lebih banyak porsi sosialnya. Nah, kata teman pemberi WS juga, jenis ketiga ini merusak harga pasaran WS. Beliau bertandang ke bengkel Ayaran Craft untuk membeli bahan pelapis tas. Ngobrol-ngobrol sampai ke hot issue seorang pelaku handmade sekaligus pemberi WS yang melakukan pembohongan publik dengan foto-foto orang lain yang diakuinya, pembicaraan merembet sampai ke harga WS. “Protes aja sekalian ke si Mbak B karena terlalu murah memberi harga, merusak pasaran,” katanya.

Emak Ayaran yang berada di posisi tengah hanya tersenyum dan ngadem-ngademi, “Tenang, semua memiliki pangsa pasar tersendiri. Rejeki nggak bakal tertukar. Ada orang yang nyaman dengan harga mahal, ada pula yang memang harus mengetatkan ikat pinggang dengan niat belajar yang sangat besar. Maklumi saja.”

Jenis ini, dia (atau beliau) hanya mengambil keuntungan sedikit dari ilmu yang dibagaikan. Tapi, hukum memproduksi/menjual suatu produk; jika kamu tidak bisa menjual dengan harga mahal dengan jumlah sedikit (karena segmennya lebih mengerucut), jual lah produk murah dengan kuantiti banyak. Pada akhirnya keuntungan bisa jadi setara.

Lalu apa hubungannya jenis-jenis pelaku WS dengan judul di atas?
Jadi begini, hari ini ceritanya Emak Ayaran nambah ilmu, ikut WS. Meski Emak Ayaran sudah pernah mengamati proses produksi rumahan sebuah produk handmade—yang kebetulan 11-12 dengan per-tas-an--, tapi terjun langsung ke dalamnya adalah dua hal berbeda. Harga WS itu tiga ratus tujuh puluh lima ribu. Karena tahu harga-harga bahan, Emak Ayaran bisa mengambil kesimpulan si pemberi WS mengambil keuntungan lumayan.

Soal harga, okelah. Itu terserah pribadi-pribadi mau menentukan margin keuntungan dia berapa. Hal yang membuat kurang nyaman adalah tak adanya ruang untuk sholat. Padahal, sebagai peserta tercepat dan paling rapi (menurut pengakuan si instruktur) Emak Ayaran baru kelar jam dua siang lewat. Artinya, waktu sholat duhur sudah nyaris habis. Ketiadaan tempat sholat dimaklumi karena penyelenggaranya seorang non muslim. Ketidaknyamanan kedua, snack yang dijatah. Beda banget sama WS di tempat Mbak jenis ketiga yang berlimpah snacknya. Emak Ayaran yang kebetulan karena mengejar waktu tak sempat membawa atau membeli minuman, terpaksa harus menahan dahaga teramat sangat dari jam 9.00 (masuk rumah) sampai jam 14.10 (keluar rumah) karena hanya tersedia satu gelas air mineral selain 3 buah snack, di dalam snack box. Sebenarnya mungkin kalau minta bisa, tapi si Emak Ayaran terlalu malu untuk minta tambah minum air mineral gelasannya. Hehe…

Tapi, itulah.. selalu ada hal lebih yang bisa kita dapatkan dari sebuah kejadian yang mengandung nilai kurang. Misalnya tips sederhana dalam penyimpanan dan pengaplikasian lem. Tips n trik ini yang hanya bisa didapatkan saat kita ikut workshop. Ini juga yang sering Emak Ayaran bagikan saat peserta WS kurang tepat dalam proses pembuatan sebuah tas. Tips n trik yang bisa jadi berbeda untuk tiap individu tergantung tingkat keahliannya.

So… Mari kita tetap berkarya. Tetap memberi WS dan ikut WS untuk tahu sebuah tips sederhana meski itu seharga tiga ratus tujuh puluh lima ribu.

Tanah Baru, 2 Juni 2015 23.48

Selamat buat teman-teman ‘satu rahim’ Crafter Depok dan Asosiasi Industri Kreatif Depok yang tengah berjuang membuktikan eksistensi diri di Festival Industri Kreatif Depok, Balai Kota Depok, jalan Margonda Raya, 3-7 Juni 2015.

Selamat berjuang untuk teman-teman Crafter Depok di PRJ Kemayoran minggu berikutnya. Tetap cemungud! Eeeyyaaaa!!! :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar