Pagi ini, yang berhamburan di status teman adalah ucapan selamat hari ibu.
Pagi ini, yang membuncah di hatiku adalah rindu, pada sosokmu; Bu'eku
Beberapa
hari lalu, ada yang meradang di hatiku. Pasalnya, melalui statusnya,
seorang teman seolah mengolok-olok salah satu kegiatan seorang ibu,
yaitu menjahit. Secara garis besar, dia nyinyir mempertanyakan
penggambaran seorang ibu yang sedang menjahit di iklan PAN. Menurut dia,
hari gene, penggambaran sosok ibu harusnya yang memegang BB atau apalah
yang lebih keren dan modern. Aku yang jarang sekali menonton televisi
dan baru melihat iklan itu semalam justru makin emosi.
Berbaik
sangka bahwa dia hanya tak suka dengan PAN sehingga mencari titik yang
dianggapnya tak relevan dengan kekinian di iklan, aku menanggapi
statusnya dengan senyuman.
Berbaik sangka bahwa dia
hanya belum paham betapa berat profesi sebagai ibu, sesederhana apapun
job descriptionnya semisal menjahit robekan di baju, aku berkomentar
menjahit justru merupakan salah satu passion-ku dan aku sangat enjoy
dengan itu.
Berbaik sangka bahwa dia tak memiliki ibu yang bisa sekedar memasang kancing apalagi menjahitkannya celana aku justru jatuh iba.
Lebih
dari tiga puluh tahun yang lalu, seorang ibu selama beberapa lama,
setiap malamnya, menjahit rok seragam untuk ketiga anak perempuannya.
Jangan dibayangkan beliau bisa tata busana karena telah kursus sementara
SR saja tak lulus. Beliau melakukan itu karena tak mampu beli seragam
jadi.
Beliau memicingkan mata di tengah
kerlip lampu uplik, memotong dan menyambung kain drill merah demi cinta
pada anak-anaknya yang senantiasa merekah.
Beliau
telaten memasukkan benang pada lubang jarum, menusukkan lalu menarik
jarumnya ke dan dari kain sebab keterbatasan yang dipandangnya sebagai
tantangan, bukan penghalang. Ya, mesin jahit termasuk barang mahal
baginya yang untuk makan sehari-hari saja harus gigih berjuang.
Sementara ongkos menjahitkan pun termasuk pengeluaran yang harus
dihilangkan.
Ibu itu, Bu'eku.
Dalam diamnya beliau mengajariku perjuangan dan mencari celah yang masih bisa kita manfaatkan.
Dalam keberadaannya selalu di sisiku, di sisi kami, anak-anaknya, beliau pun tetap mengajari bagaimana menjadi wanita mandiri.
Tanpa harus kehilangan jati diri sebagai istri, menjadi partner sejajar suami.
Teman
itu tak tahu, betapa tak sedikitnya ibu yang menggadaikan waktu
berharga dengan anak-anaknya demi karir yang dipandang lebih berharga
dibanding profesi sebagai ibu rumah tangga.
Teman itu tak
menyadari, betapa tak sedikit wanita yang rela menduakan anaknya dengan
alat teknologi agar disebut modern dan trendi.
Teman itu belum
memahami, bahwa dari segi anak, yang terpenting bukanlah apakah ibunya
gaptek atau melek teknologi. Bukanlah apakah si ibu bau wangi atau bau
terasi.
Bagi seorang anak, sesungguhnya yang dilihat
dan diingat, bahkan hingga tiga puluh tahun kemudian adalah apa yang
dilakukan ibu untuknya dan seberapa dekat mereka, secara jiwa, juga
raga.
Zaman memang berubah. Bahwa perempuan dituntut
(atau sebenarnya menuntut dirinya sendiri?) untuk lebih mandiri terutama
secara materi.
Namun ada yang tetap tak berubah dari dulu.
Yaitu; rumah butuh dipel dan disapu. Pakaian perlu dicuci dan disetrika.
Masakan harus tersedia di meja, dan bla bla bla.
Asisten rumah tangga bisa mengerjakannya, kilah mereka yang tak mau repot.
Iya.
Itu benar adanya. Dengan beberapa catatan. Dengan beberapa kekurangan.
Satu kekurangan terbesar yaitu, mereka melakukannya tanpa cinta.
Zaman
memang berubah. Ibu yang menjahit mungkin tak tampak 'seksi' lagi
(seperti yang kuyakini sembilan tahun lalu). Tapi kita tentu tak lupa,
bahwa pakaian yang kita kenakan, adalah produk dari jasa konveksi yang
sebagian besar karyawannya adalah perempuan, ibu-ibu dari seseorang.
Kekinian,
tak harus selalu dilekatkan pada sesuatu yang bernama gadget terbaru.
Sebagaimana profesi ibu tak harus digambarkan sedang menjahit baju.
Meskipun jika digambarkan seperti itu, sungguh sangat menyentuhku.
Membawa kenangan masa lalu.
Tanah Baru, 22 Des '13 19.26
Thanks to my lovely husband, yang pertama kali mengajariku cara menjalankan mesin jahit.
Translate
Rabu, 08 Januari 2014
Panorama pagi, 5 Januari 2014, Grand Elty Krakatoa. Gunung Raja Basa dan pantainya.
Yasmin narsis gaya baru di Menara Siger. Ranu malu dengan gaya ajaib kakaknya, memalingkan muka. :P
MakZIC di halaman Menara Siger.
Ketiduran menunggu pesanan di rumah makan pertama begitu kami menginjakkan kaki di Sumatra.
Rebutan bola, dan.... jebreettt!!! :D
Group Mas Echo sebagai juara pertama. Keren oiy!
Ayo kita kesana Nak! begitu kira-kira kata Mas Pawang ke gajahnya di Way Kambas.
Bobo pules di mobil di tikum Km 13,5 tol Jakarta-Merak.
Penyerahan bantuan tas dan perlengkapan tulis untuk anak2 sekolah di sekitar Way Kambas.
Yasmin narsis gaya baru di Menara Siger. Ranu malu dengan gaya ajaib kakaknya, memalingkan muka. :P
MakZIC di halaman Menara Siger.
Ketiduran menunggu pesanan di rumah makan pertama begitu kami menginjakkan kaki di Sumatra.
Rebutan bola, dan.... jebreettt!!! :D
Group Mas Echo sebagai juara pertama. Keren oiy!
Ayo kita kesana Nak! begitu kira-kira kata Mas Pawang ke gajahnya di Way Kambas.
Bobo pules di mobil di tikum Km 13,5 tol Jakarta-Merak.
Penyerahan bantuan tas dan perlengkapan tulis untuk anak2 sekolah di sekitar Way Kambas.
Lampung Conservation Journey ZIC Part 2
Jam digital
di dashboard Jlitheng menunjukkan angka cantik 22:44 begitu kami berhenti di
depan rumah. Alhamdulillah, perjalanan indah ini berakhir sudah. Meski
sesungguhnya, 3 malam 4 hari masih terasa kurang bagi kami. Dan aku yakin, itu
dirasakan juga oleh semua ZICers, MakZIC, maupun KidZIC. Perkara baju kotor
menggunung tinggi, atau badan pegal-pegal seolah habis ketabrak Joni (baca
Lampung Conservation Journey ZIC Part 1), itu bisa nanti. Yang penting bahagia
itu mengguyur kami semua. Seperti hujan yang tak perlu modal, diturunkan begitu
saja bahagia itu olehNya. Lewat eratnya persahabatan, rekatnya kekeluargaan.
Games, Doorprize, Best
of…
Sedikit
berbeda dengan Jamnas atau touring sebelumnya, Jamnas kali ini seksi acara
menyajikan sesuatu yang lebih menantang dari pada kubangan gajah. Di-handle oleh duet maut Tante UI; Lupi dan
Ruri, tiap group diadu kekompakannya. Ujian pertama berupa games memindahkan
karet dengan sedotan. Disusul kemudian mengisi botol air mineral dengan air
laut sebanyak mungkin dibatasi waktu. Setelahnya lomba bakiak tandem. Selanjutnya
menguji kelincahan jari dengan menganyam sedotan untuk ‘sangkar’ telur yang
kemudian dijatuhkan. Dan setelahnya, futsal pantai yang jelas menguras tenaga.
Untungnya, semua games itu dilaksanakan setelah sarapan pagi, dengan rasa
masakan yang cenderung royal lada. Dari semua rangkaian games itu, yang keluar
sebagai juara pertama group Mas Echo, Alpha, dan yang buncit groupku, Bravo.
Sementara
Emak dan Bapaknya ketawa-ketiwi hepi berkompetisi, anak-anak yang sudah seperti
saudara sendiri asyik dengan gank-nya masing-masing. Sebelumnya, disediakan
pula lomba-lomba untuk mereka have fun
bersama. Dan menutup aktivitas siang menjelang sore hari ketiga Jamnas, para
emak rupanya tak mau kalah sama anak-anak, main air, naik banana boat. Dan tak
mau kalah pula dengan kaver majalah lelaki dewasa, di kolam renang yang hanya
sedalam 95 cm mereka berpose dengan aduhai. Masih merasa 17+ ya? Hahaha…Peace
Maks…:P
Usai
kumandang sholat Isya, satu persatu penghuni kamar di sayap kiri bangunan Grand
Elty Krakatoa Hotel n Resort bermunculan menuju satu titik; gala dinner ZIC!
Hujan tak menghalangi karena kehangatan persahabatan cukup tangguh mengusirnya.
Juga kambing guling serta banyak hadiah yang sudah tersedia. Sedikit berbeda
dengan tradisi sebelumnya, touring kali ini ada sidak kebersihan dan kerapihan
mesin yang disediakan ganjaran bagi pemenangnya. Juga best dresscode saat di Way Kambas yang dimenangkan oleh Om Wied dan
Te Novi. Keduanya, menurutku memang sangat layak menang polling. Bahkan petugas
TSI Cisarua aja lewatttt. Naksir berat sama boot te Novi. Seksi! J Dan seperti tradisi touring atau
event lainnya, ZIC selalu mengadakan tukar kado dan doorprize. Doorprize
merupakan sumbangan ZICers, sukarela. Bisa juga dari sponsor. Sayang, tas
cantik dari tante Nory belum berjodoh denganku. Huhuhu… Salut buat peserta touring
terjauh, sepasang sejoli Om Budi Brown dan Tante Fifi dari DEnMArK yang habis
digodain Mas Echo Leader karena sapi kaki 3-nya (manual). Juga dede bayi Om Manggar
Te Alfa yang baru berusia 6 bulan sebagai peserta termuda.
Pulang!
Matahari
masih malu-malu ketika aku keluar kamar pagi itu. Setengah enam, setelah
kelelahan sesiangan kemarin dan semalam, ZICers pasti kebanyakan memilih
bergelung di selimut usai sholat subuh pagi hari keempat Jamnas. Tebakanku
mengena, karena di luar, hanya kujumpai ODL yang asyik mengambil beberapa foto
sebelum kembali ke kamar. Aku meneruskan langkah ke dermaga tempat MakZIC
ber-banana boat ria. Gunung Raja Basa masih tertutup awan atasnya. Menjelang
terang baru awan itu menyibak, menampakkan puncak gunung yang melandai.
Ingatanku terbawa ke puncak Arjuna lebih dua puluh tahun lalu, dari atas awan
terlihat seolah gelombang di lautan. Indah sekali.
Sempat
berbincang dengan sepasang suami istri asli Lampung di dermaga, sesi
jalan-jalan sendiriku pagi ini kututup dengan obrolan dengan seorang bapak.
Beliau pensiunan Pemda Lampung, diajak anak dan cucunya yang tinggal di Jakarta
untuk refreshing, menyewa resort di Elty. Menjelang usia 69 tahun, Pak Syaiful
masih tampak segar mengayuh sepeda sewaan. Beliau banyak bercerita tentang
sekitar 60% pendatang, juga suku tertentu dengan stereotipnya masing-masing.
Dan baru kutahu, ternyata jalan utama yang kami lalui sebenarnya adalah jalan
baru. Jalan yang asli sebenarnya masih masuk di pedalaman. Daripada
mengeluarkan dana banyak untuk bla bla bla, pemerintah daerah lebih memilih
untuk membangun rute baru. Demikian menurut cerita beliau. Mungkin itu sedikit
banyak menjawab pertanyaan di kepalaku, kenapa di beberapa bagian jalan rusak
parah sementara di bagian yang lain mulus. Yap, dimana pun, friksi antara
pemerintah, pendatang, dan penduduk asli pasti selalu ada.
Kembali ke
kamar, aku segera packing, sementara
anak-anak mengambil kesempatan terakhir bersenang-senang di kolam renang
sebelum check out pukul 10. Dan
seperti yang sudah diagendakan, CSR ZIC di kawasan ini berupa sumbangan untuk
penanaman pohon bakau. Dilakukan secara simbolis dengan menanam pohon di
halaman Elty. Dia akan jadi pengingat jika suatu saat kami berkesempatan
kembali ke sini, bahwa pernah ada sebuah kebersamaan indah yang bernama Lampung
Conservation Journey oleh Zafira Indonesia Community.
Usai
foto-foto narsis seperti biasanya, kami lalu line up menuju jalan besar, kembali ke Bakauheni. Jadwal
penyeberangan kapal jam 1, meski ternyata kepadatan traffic membuatnya molor menjadi jam 2 siang. Alhamdulillah,
terimakasih kepada Om Didin yang dengan channel-nya
membantu ZIC hingga mendapat perlakuan khusus. Termasuk ruang akomodasi yang
nyaman sehingga ZICers sebagian bisa istirahat.
Dibanding
Munic 1, armada yang kami tumpangi dari Merak ke Bakauheni, Caitlyn ini
relative lebih bersih dan lebih lapang. Dan meski di geladak depan mushola
diputar rekaman organ tunggal yang teramat menyedihkan suara music dan
penyanyinya, tak apa. Toh kami yang di dalam tak mendengar. Hehe..
Setengah jam
menjelang sandar, si awan gelap rupanya tak sabar lagi menurunkan bulir-bulir
airnya. Hujan dengan angin lumayan kencang sedikit memberi goyangan. Alhamdulillah
ketika kami harus keluar ruangan, kembali ke mobil untuk bersiap keluar kapal,
hujan hanya rintik-rintik. Pun ketika kami melaju menuju tol, sudah berhenti
total. Rencana berhenti di rest area untuk pembubaran sekaligus mengajukan
request wisata durian dibatalkan. Waktu sudah mepet sekali. Sekalipun kami
masih ingin bersama, anak-anak dan sebagian besar dari ZICers harus kembali ke
alam nyata; belajar dan bekerja. Maka, pesan dan kesan petugas touring yang
belum terakomodir selama berjalan dari Bakauheni, sekaligus pembubarannya kami
laksanakan di rest area km 59. Kalau tak salah sih. Tempat sama pembubaran
tourdak Anyer beberapa bulan lalu.
Senada,
dengan beberapa tambahan di sana sini, all Zulu sepakat, bahwa hanya kepuasan
dan kebahagiaan yang kami dapatkan. Soal kekurangan di sana sini termasuk sharing room, makanan, ketahanan
sapi-sapi (sebutan cinta kami pada Zafira), dan uji nyali serta keahlian manuver
driver, anggap saja sebagai
kembang-kembang yang memperindah sebuah perjalanan. Tak sabar rasanya menanti
touring berikutnya. Dan yang paling dekat tentu saja nobar. Membayangkan hasil
jepretan dan rekaman serta editan mas Imam yang gesit luar biasa mencari angle pas, rasanya kami tak sabar saja.
Yang jelas akan membahana di nobar nanti pasti adalah tawa.
Yap, ada
banyak yang bisa mempersatukan kita dalam sebuah komunitas. Bisa tunggangan,
bisa hobi, bisa profesi, bisa pula sebab lainnya. Yang membedakan kemudian
adalah apakah komunitas itu melibatkan semua anggota keluarga, itu yang belum
tentu semua bisa. Di Zafira, kami temukan itu. Beberapa dari kami bahkan
melihat anak tumbuh bersama-sama. Dan seperti segala sesuatunya, ada proses
yang mengiringi. Ada hati-hati yang siap berbagi, saling memahami, menahan
friksi. Entah sampai kapan keluarga besar ini berjalan, hanya waktu yang mampu
memberi jawaban. Sementara itu, kita nikmati saja indahnya, kebersamaannya,
gelak tawanya.
Tanah Baru,
6 Jan ’14 21.18
Indarwati,
MakZIC Slamet Harsono ZIC024, Jlitheng
Lampung Conservation Journey ZIC Part 1
Ada yang beberapa tahun terakhir ini selalu kunanti
menjelang pergantian tahun. Dan itu jelas bukan hiruk pikuk petasan, berisiknya
jeritan terompet , atau euphoria
sementara menanti pergantian pukul dua belas ke satu di tanggal tertentu.
Bukan, bukan itu. Karena tahun baru menurutku tak lebih penting dari pergantian
hari-hari sebelumnya dan nanti. Dan andaipun dia dirayakan, mestinya, sama
seperti ulang tahun, dirayakan dalam perenungan, bukan suka cita yang menghamburkan
uang demi petasan yang justru banyak mengagetkan bayi dan anak-anak.
Yang kunanti sekarang di pergantian tahun, adalah serangkaian petualangan, sepotong
perjalanan, setangkup persahabatan dan kebersamaan kekeluargaan. Bukan oleh keluarga yang dipersatukan oleh
hubungan darah. Keluarga besar ini bernama Zafira Indonesia Community (ZIC)
yang terbentuk oleh kesamaan pilihan kami atas kendaraan Chevrolet Zafira
sebagai tunggangan sehari-hari. Dan perjalanan yang kami nanti itu bernama
Jamnas (Jambore Nasional) yang dulunya disebut touring akhir tahun. Di ZIC,
Jamnas atau touring akhir tahun sudah dimulai sejak tahun 2009-2010, dengan
tujuan ke Bali. Kami sekeluarga sendiri baru bisa bergabung dengan agenda rutin
ini pada jamnas 2012-2013 yang mengambil tema Heritage n Culture dengan tujuan Magelang, Yogya, Solo.
Selain agenda rutin Jamnas, ZIC juga biasa mengadakan mid tour atau touring tengah tahun.
Biasanya sekitaran Juni-Juli saat liburan sekolah. Dan salah satu agenda yang
tak kalah serunya, bahkan mungkin lebih mengasyikkan adalah ZICamp. Camping ini
biasanya diadakan sekitar bulan Maret-April, sebelum mid tour. Selain mid tour,
jamnas, dan ZICamp, ZIC juga biasa mengadakan tourdak atau touring dadakan.
Bisa nginep sehari, atau sekedar jalan pagi pulang sore. Tujuannya, seperti di
lokasi lain yang kami tuju setiap ada kegiatan yang sudah diagendakan atau
sekedar kopdar, adalah tempat yang memenuhi ‘kebutuhan’ seluruh anggota
keluarga. Dari tempat ngobrol untuk Om Om-nya (panggilan akrab kami ke ZICer),
tempat ngrumpi dan kulineran enak buat Tante Tante-nya (panggilan akrab kami ke
MakZIC), juga tempat main buat KidZIC.
Lampung Conservation Journey
Jamnas keempat ZIC tahun ini mengambil tema Lampung Conservation Journey dengan
tujuan utama Taman Nasional Konservasi Gajah Way Kambas. Way Kambas sengaja
dipilih untuk lebih mendekatkan kidZIC ke gajah di habitat aslinya, juga
menginjakkan kaki-kaki Zafira tak hanya di pulau Jawa (setelah sebelumnya
pernah menyeberang ke Bali).
Officer 1 line up
bersama 6 kr
Touch down di tikum
Aku tersenyum membaca chat
di group whatsapp. Kualihkan
pandangan ke depan, exit ke rest area km 13,5 tol Jakarta-Merak tinggal
beberapa ratus meter di depan. Sekitar 00.50, aku keluar dari Zafira dan
menjumpai MakZIC yang sudah sampai duluan di sana. Cipika cipiki, kenalan sama
yang baru sekali itu bertemu, lalu kami mengobrol tak jemu-jemu. Mengikuti
jadwal penyeberangan kapal, kami memang diharapkan berada di titik kumpul jam
satu dini hari. Dan setelah semua anggota datang, sambutan panitia, pembagian
stiker dan goody bag, doa bersama,
yel-yel, kami pun siap meluncur.
Jamnas kali ini diikuti oleh 33 kr (kendaraan). Dibagi
menjadi 5 group; Alpha, Bravo, Charlie, Delta, dan Echo. Tiga Officer, satu Service Car dari bengkel rekanan, Sweeper, dan yang pasti Road
Captain. Meninggalkan titik kumpul jam 3 pagi, kami sampai di pelabuhan jam
4 lebih sedikit. Usai sholat kami lalu menuju ke penyeberangan. Karena tak
termasuk peak season, awalnya loket
yang dibuka hanya satu dengan HTM 275 ribu. Sedikit lebih mahal dari saat
panitia survey yang hanya seharga 230 ribu. Berderet rapi di dermaga 4 menanti
kapal sandar, kami disuguhi pemandangan manis mentari yang mulai membuka pagi.
Sekitar pukul 6, kapal ferry Munic I dengan muatan yang kuperkirakan kurang
dari separuh kapasitasnya itu mulai mengangkat jangkar, meninggalkan dermaga,
menuju pulau Sumatra.
Sebagai mantan tukang gambar kapal, aku selalu mengalami de
javu jika naik kapal. Apalagi saat naik kapal cepat dari Semarang ke Karimun
Jawa tahun 2005 lalu yang merupakan produksi PT Pal Indonesia Surabaya, dan
ternyata salah satu proyek dimana aku terlibat di dalamnya, dulu. :) Dengan suasana pagi
yang ramah, cuaca yang bersahabat, kegairahan yang masih menyala serta kondisi
fisik prima, kuajak anakku jalan-jalan berkeliling kapal. Kuperkenalkan sekoci
penolong, chain locker yang dimasuki
rangkaian chain untuk menarik dan lepas jangkar, dan sebagainya. Sempat naik
haluan bagian atas, kami disuguhi atraksi ikan layang yang melompat-lompat di
atas air. Sungguh indah sekali. Menara Siger makin tampak menggoda ketika kami
mulai mendekati dermaga.
Sesuai perkiraan, sekitar jam 8 kami sampai di Bakaheuni. Rolling thunder sesuai urutan kami
mampir untuk sekedar foto-foto di Menara Siger. Sekitar pukul sepuluh kami
teruskan perjalanan menuju hotel di Way Jepara. Melintasi jalan Lintas Timur
Sumatra, awalnya kondisi jalan sangat menyenangkan. Tak banyak kendaraan yang
berpapasan dengan kami atau kami lewati. Kondisi fisik jalan mulus sampai
sekitar 10 kilometer kemudian ujian untuk Zafira yang ground clearancenya rendah mulai mengantri tak henti. Yup, di
banyak titik jalan rusak parah. Beberapa kali bagian bawah Jlitheng (nama
kesayangan Zafira kami :)
) harus kepentok batu. Kubangan gajah, begitu kami menyebutnya tak malu-malu
mengurangi keasyikan touring kami.
Selain jalan rusak di banyak titik, satu hal
yang sempat memunculkan keprihatinanku adalah kurangnya kesadaran pengendara
motor pada keselamatan pribadi. Dari sekitar 50% yang kami berpapasan
dengannya, tak melindungi kepalanya dengan helm. L
Sebagai orang yang pernah merasakan sakitnya kepala, dijahit karena kecelakaan
jatuh dari motor—dan ini jelas karena kecerobohan pengendara motor di depan
yang mengenakan helm seenaknya sehingga melayang dan membuat motor kami
kehilangan kendali demi menghindari—aku hanya mampu berdoa, semoga kepala
mereka yang bandel itu benar-benar lebih keras dari aspal. Bukan sekedar ‘keras
kepala’ tak peduli pada keselamatannya.
Antara Jawa dan Sumatra
Pulau Jawa, mungkin bisa dibilang surga dunia Indonesia. Mau
cari hiburan macam apa saja ada. Yang alami sampai yang modern kebarat-baratan
tak terhitung jumlahnya. Dan yang makin marak bahkan menjadi gaya hidup sekitar
10 tahun terakhir ini adalah wisata kuliner. Mau cari makanan dari mana dan
bagaimana ada. Di Sumatra, keterbatasan itu tentu saja ada. Ujian bagi kami
yang biasa niat wisata kuliner juga jika touring muncul saat makan siang. Rumah
makan yang sudah kami konfirmasi jauh-jauh hari ternyata tak siap. Padahal kami
sudah memesan menu seminggu sebelumnya saat technical
meeting. Ini berbeda sekali dengan profesionalisme rumah makan yang kami
singgahi saat ZICamp di Pine Forest
dua tahun lalu di daerah Lembang (kalau tak salah). Saung-saung sudah ditata
diberi nama, minuman sudah tersedia, dan jelas saat kami yang kecapekan
kelaparan melakukan perjalanan panjang mengharapkan servise bagus, itu kami
dapatkan. Di rumah makan yang kami singgahi hari pertama menginjakkan kaki ke
Sumatra, selain rasa yang mengecewakan, mereka bahkan sampai kehabisan nasi.
Pelayanan tak memuaskan lagi kami dapatkan di hotel pertama
kami menginap. Dua tempat karaoke yang ada seolah bersaing paling kencang
suaranya, listrik mati berkali-kali, dan kebersihan kamar mandi yang
menyedihkan. Tapi nggak papa deh. Toh cuma semalam. Yang penting kami bisa
tidur nyenyak meski harus sharing room.
Blessing in disguising buatku yang
sekamar dengan member baru. Beliau yang biasa touring dengan komunitas mobil
mewahnya mengaku mendapatkan suasana baru yang lebih kekeluargaan di ZIC.
Berbeda dengan di komunitasnya yang justru ‘menyingkirkan’ pengguna jalan lain
dengan sirine, kami di ZIC justru mengedepankan kesantunan dalam berkendara.
Yap, moto ZIC memang drive for fun n
safety. Fun buat semua orang, safety buat yang di dalam kendaraan dan
pengguna jalan lain.:)
Joni dan Adi
Molor satu jam dari jadwal, sekitar pukul 8 baru kami line up menuju Way Kambas. Berbelok dari
jalan utama, kami pun disuguhi jalan berlubang di banyak tempat. Bahkan begitu
memasuki area, berjalan sekitar 10 kilometer ke lokasi, jalan aspal tinggal
bekasnya saja. Dengan bonus kubangan gajah di banyak tempat yang memaksa driver
Zafira harus ekstra hati-hati. Dibanding dengan kondisi jalan di Ujung Kulon
dan Ujung Genteng yang sama-sama rusak parah yang pernah kami lewati, yang
membuat capek Way Kambas ini adalah karena jalannya panjang seolah tak berujung.
Meski kanan kiri hutan menghijau menyegarkan mata. Viewnya mirip-mirip di film Jurasic Park. Suara serangga dan bau
hutan membuatku sejenak ingat masa muda (sekarang jiwanya aja yang masih merasa
muda, hehe) saat masih suka keluyuran ke gunung. Sayang, oleh Om RC diingatkan
untuk menutup kaca. Khawatir ada kera liar menyerang. Pun, krucilsku merasa
terganggu dengan bau hutan yang memang rada menyengat itu. Entah tanaman apa
yang banyak ada di kiri kanannya.
Alhamdulillah, sekitar pukul 10.30 kami tiba di lokasi.
Parkir dengan rapi, lalu berderap menuju tempat atraksi di samping kolam gajah.
Jaraknya sekitar 400 meter dari tempat parkir. Seperti pengakuan salah seorang
pawang gajah, pengunjung banyak yang kecewa dengan tempat ini, kok begini
begini saja. Yap, jujur, ini memang tidak seperti yang aku bayangkan. Tapi
mungkin juga karena keterbatasan waktuku untuk menjelajahnya. Tapi sungguh aku
bahagia karena ada sesuatu yang bisa kubagi di perjalanan siang ini. Dia
bernama Joni.
Dia jantan, umur 5 tahun. Ibunya bernama Kartijah yang
merupakan singkatan dari Kartini Gajah. Orang tua si Kartijah (atau Kartijah
itu sendiri ya?) yang merupakan cikal bakal berdirinya konservasi gajah ini.
Ceritanya dulu sekawanan gajah memasuki lahan penduduk. Kelelahan, mereka akhirnya
dilindungi, dijinakkan, hingga tempatnya menjadi kawasan konservasi seperti
sekarang ini. Resmi berdiri tahun 1985, meliputi Lampung Timur dan Lampung
Tengah. Selain menjinakkan gajah, menyelamatkan sekaligus ‘memasok’ ke taman
safari Prigen, taman safari Cisarua, dan kebun binatang lainnya, petugas di
sini juga ‘menghalau’ kawanan gajah liar untuk jauh-jauh dari pemukiman atau
kawasan penduduk.
Gajah sendiri termasuk hewan social yang berkelompok sekitar
30-50 gajah. Mereka berotasi mencari tempat baru setiap sekitar 40 hari. Jika
dalam masa rotasi itu mereka dekat-dekat kawasan penduduk, petugas dengan
menunggang gajah besar akan menghalau mereka agar menjauhinya. Jika tidak, bisa
gawat nasib mereka. Manusia merasa terancam dengan kehadiran gajah-gajah
tersebut lalu mengambil tindakan ekstrim, membunuhnya. Padahal sesungguhnya
manusialah yang mendesak mereka hingga kawasannya menyempit.
Di taman konservasi ini selain gajah ada pula beberapa hewan
yang dilindungi. Salah satunya yang sedang dikembang biakkan adalah badak.
Didanai oleh sebuah lembaga dari luar negri, Rosi, salah seorang badak betina
yang dikonservasi, akhirnya bisa beranak setelah dia dan teman-temannya dicoba
kembangbiakkan selama 15 tahun. Kelahiran anak Rosi itu sendiri merupakan
kelahiran pertama badak di penangkaran dalam kurun waktu 124 tahun. Di alam
liar, entah. Menurut pengakuan Mas Adi, pawang Joni, badak Asia, atau badak di
Indonesia hanya berjumlah 80 ekor. Ini tak lepas dari sifat badak yang
penyendiri, hanya melahirkan satu anak dalam masa kehamilan. Dan proses
mengawinkan pun tak mudah. Rosi semula menolak badak yang dijodohkannya karena
lebih tinggi dia. Sama ya, kaya manusia yang cenderung memilih suami yang lebih
tinggi. Hihihi… dan jika diibaratkan manusia, badak sepertinya masochist. Pakai acara berantem hingga
luka-luka sebelum setuju bercinta. Ingat lagunya Rihanna feat Eminem, Love the Way You Lie. Ups! :P
Back to Joni yang pintar beratraksi dengan kawan-kawannya,
Wulan, Aji, dll.
Sebelum atraksi dimulai, seremonial selalu ada termasuk
penyerahan bantuan ke masyarakat sekitar berupa tas untuk anak sekolah sejumlah
50 buah dan bantuan kepada petugas berupa jas hujan, sepatu boot karet, dan
baju gajah. Atraksi ditutup dengan tarik tambang antara gajah dan ZICer yang
jelas dimenangkan oleh si gajah dengan berat sekitar 2 ton dan berusia sekitar
30 tahun. Menang telak 2-0!
Keasyikan ngobrol sama Mas Adi, pengantin baru satu bulan
asli Jawa yang 4 tahun mengabdi di Way Kambas ini setelah sebelumnya di Riau,
aku baru sadar, sebagian besar ZICer sudah balik ke parkiran. Melihat Joni
ditunggani Mas Adi ke arah sama, aku yang semula berjalan sendiri meminta
tunggangan serta. Alhamdulillah boleh. J
Meski tingginya belum mencapai 2 meter, yang namanya menunggang gajah tanpa
pelana, tentu saja menegangkan sekaligus mengasyikkan. Apalagi saat aku yang
duduk di depan si pawang di belakang.
Entah mengapa, terbit sayangku pada Joni.
Haru dan kasihan sama yang mampu membuatku nyaris menangis saat pertama kali
Wulan muncul di arena atraksi. Melihat matanya, aku seolah membaca, bahwa
‘hanya kalian lah manusia, yang diberkati akal dan budi yang mampu
menyelamatkan kami’. Makin terharu ketika si Mas bercerita, induk gajah, rasa
keibuannya besar. Kartijah, meski sudah lama berpisah dengan Joni, kalau ketemu
dan si anak mau nenen, dibolehin sama dia. Juga anak gajah liar lainnya. Meski
air susunya sendiri sudah tak ada. Di alam liar, induk gajah biasa menyusui
anaknya hingga usia 4 tahun.
Well, rasanya pengin cerita yang buanyak lagi. Tapi sudah
nyaris jam 3 dini hari. Sementara besok masih ada acara yang seru-seru
pastinya. ZIC memang tak ada matinya! So, mending curhatanku Jamnas tahun ini
kusudahi sementara. Mau menikmati kamar hotel yang nyaman dulu dengan bobo
manis. Besok bangun pagi-pagi, menyibak gorden dan vitrase, pasti view pantai
dengan deburan ombak sudah memanggil-manggil dari balkon kamar. Alhamdulillah.
Thanks to panitia yang sudah booking
di Grand Elty Krakatoa. Ini baru namanya hotel dan liburan. :)
Kalianda, 4 Jan 2014 2.34
Langganan:
Postingan (Atom)