Dengan iming-iming memancing di danau, Ranu akhirnya mau
turun dari pangkuanku dan keluar mobil. Ustadz yang sebelumnya menjemput kami
di depan pertigaan jalan Maligi V kembali menaiki motor maticnya ke rumahnya.
Sementara 3 santrinya yang menunggu di pos jaga sebuah perusahaan membantu kami
membawa bingkisan sekedarnya lalu menunjukkan jalan.
Jalan setapak yang jika kering katanya bisa dilalui mobil
ini setelah diguyur hujan sepagian jelas tidak memungkinkan untuk diterjang MPV
tanpa 4WD. Bahkan kami yang jalan kaki saja beberapa kali harus merelakan kaki
terperosok ke lumpur dengan sandal tertinggal dan sulit dicabut. Anak-anak kami
gendong, baru jika memungkinkan mereka jalan sendiri.
Sekitar 400m ‘menikmati’ becek jalan, akhirnya kami sampai
di lokasi. Seeing is believing. Foto
mengenaskan yang kami lihat sebelumnya di hadapan kini menjadi lebih
menerbitkan iba. Jika kondisi itu berada di desa, mungkin bisa lebih kupahami.
Tapi ini, bisa dibilang masih kota, di sekitar kawasan industri Karawang, dan
tak sampai 3km dari areal kompleks pemakaman mewah San Diego Hill yang harganya
untuk beberapa kalangan membuat tercengang.
Istri Ustadz Nana, seorang ibu tua yang ikut menumpang di
rumah itu, dan beberapa santri menyambut kami. Ustadz bercerita bahwa dia baru
pulang pagi itu setelah melayat ke rumah salah seorang santriwatinya yang kehilangan ibunya. Obrolan bersambung tentang
bagaimana awalnya Ustadz mendirikan pondok pesantren yatim itu. Dulu, dia
bergandengan tangan dengan salah satu ormas Islam melakukan pembentengan
terhadap aksi pemurtadan. Lalu berkembang sampai akhirnya beliau yang awalnya
diamanahi mengurusi sebuah pesantren memutuskan keluar lalu total di tempat
yang sekarang. Bahkan karena merasa sudah cocok, santri yang semula mondok di
sana ikut beliau di tempat yang baru berjalan sekitar setahun ini.
Di pondok pesantren yatim dan duafa Batu Koneng—yang rencana
ke depan akan dibentuk yayasan dan diberi nama—Ustadz Nana dibantu dengan
seorang ustadzah memberi pengajaran kepada 10 santri tinggal dan 5 santri kalong
(tidak tinggal). Dari 10 anak yang tinggal itu 6 adalah laki-laki dan 4
perempuan yang salah satunya ibunya baru saja meninggal. Beberapa anak itu
diselamatkan dari ‘rumah’ mereka di pinggiran pantai yang kondisinya jauh lebih
buruk dari keadaan kobong yang mereka
tinggali sekarang.
Anak-anak itu juga
bersekolah di jenjang SMA, SMP, dan SD. Karena jarak ke sekolah yang lumayan
jauh, tiap harinya Ustadz membutuhkan sekitar 25 ribu untuk ongkos transportasi
mereka ke sekolah. Itu belum kebutuhan lainnya, terutama yang mendesak makan
sehari-hari juga kobong/ tempat tinggal untuk santri perempuan.
Begitu kami datang, ada 4 bangunan yang menyambut kami. Yang
pertama mushola kecil, lalu rumah semi permanen yang segera kami kenali sebagai
rumah ustadz yang sekaligus menampung
salah satu santri. Bangunan ketiga, membentuk huruf L menghadap ke
mushola yang sudah permanen, adalah tempat tinggal untuk santri perempuan dan
laki-laki. Bangunan semi permanen dari kayu, bamboo, dan asbes ini berpintu dua
dan hanya disekat kain di dalamnya untuk
memisahkan tempat tidur santri laki-laki dan perempuan. Dengan ukuran sekitar
6x3m, bangunan ini hanya berisi karpet lusuh, beberapa lemari pakaian, buku-buku,
dan kasur tipis. Setumpuk selimut pemberian seseorang yang menginformasikan
ponpes ini kepada kami terlipat rapi di atas boks. Ada sedikit tanah terbuka di
samping mushola, yang rencana Ustadz hendak dimanfaatkan untuk tempat tinggal
santri perempuan. Sudah ada beberapa balok kayu yang terkumpul, tapi jelas
masih sangat kurang untuk mendirikan sebuah bangunan semi permanen sekalipun.
Satu bangunan lagi adalah kamar mandi, berada agak ke atas
nyaris sejajar dengan rumah utama. Berada di atas lahan milik perhutani, sumber
air bersih yang mereka dapatkan berasal dari danau yang berjarak sekitar 50 m
dari rumah. Dengan bantuan pompa yang ternyata juga baru mereka dapatkan dari
pemberian seorang dermawan, air danau kecil yang saat itu terlihat keruh
dialirkan ke kamar mandi. Sedangkan untuk keperluan masak dan minum, mereka
membeli air galonan. Ditotal, untuk kebutuhan sehari-hari meliputi BBM genset
penerangan di malam hari—untuk listrik mereka bergantung pada genset--
transportasi, air gallon, beras,dan
lauk-pauk ponpes itu membutuhkan sekitar Rp. 3.800.000,-/bln.
Tengah kami berbincang, Yasmin, anak kedua kami yang dua
hari sebelumnya berulang tahun kelima menyeletuk,” Ini rumah ya?”
Kami kontan tertawa. Lucu, getir.
“Lho, emangnya kamu kira dari tadi ini apa?” tanyaku yang
dijawabnya tersipu.
Istri ustadz menimpali, “Kaya kandang ya?”
Aku mengerti kebingungan Yasmin. Karena saat kami di desa
buyutnya di Blitar, rumahnya bisa dibilang permanen dengan dengan batu bata.
Berbeda dengan ponpes itu yang dari kayu dan bamboo serta berlantai tanah. Bagian
dapur bahkan sampai becek karena atap yang bocor.
Menyedihkan, tapi itu
adalah kenyataan. Bahwa hanya berjarak sekian kilometer dari kemegahan yang
disediakan bagi orang yang sudah meninggal, ada tempat yang tak dikira sebagai rumah oleh anakku Yasmin, yang
diitinggali sekitar 20 jiwa.
“Semua ada porsinya,” kata suamiku malam itu ketika kami
ngobrol dan aku membandingkan gaya hidup temanku yang berkecukupan dengan
mereka yang bahkan masih pada taraf memenuhi kebutuhan pokok saja kesulitan.
“Ya, itulah kehidupan. Itulah mengapa Dia menciptakan ada
yang di atas ada yang di bawah. Ada yang harus memberi ketika ada yang sangat
butuh diberi.” Timpalku.
Jadi, bersediakah Anda, yang merasa berkecukupan untuk melakukan
perniagaan yang untungnya selain dunia adalah akhirat? Caranya gampang,
sisihkan saja sedikit rejeki Anda, donasikan melalui rekening BRI no
7664-01-000746-53-0 an. Darna NS. Kontak yang bisa dihubungi, ustadz Nana 0857
1916 6034.
Hidup adalah pilihan. Termasuk pilihan untuk hati terketuk
dan berbuat sesedikit apapun yang kita mampu, atau abai dan menutup mata pada
sesama yang sangat membutuhkan uluran tangan kita.
Tanah Baru, 28/05/’13
07.02