Jago namanya. Ayam jantan kesayangan keluarga kami yang ditemukan mati dengan tanda2 kekerasan di badannya. Pada suatu sore yang kuyup, ketika hujan mulai reda, di antara batu nisan di belakang rumah kami, lebih dari 30 tahun lalu.
Kami semua menangis. Merasa kehilangan lebih dari sekedar peliharaan. Jago nyaris layaknya anggota keluarga. Sebagai jantan Alpha, dia tak akan makan sebelum semua ayam peliharaan bapak, yg lumayan banyak waktu itu, dan sebagian besar dibebaskan berkeliaran di belakang rumah--yang tembus ke kuburan--makan. Dia akan mencari, memanggil temannya untuk pulang jika bapak atau kami memanggil-manggil sembari membawa sebaskom campuran bekatul dan nasi setengah basi plus irisan kangkung atau sisa masakan semalam.
Lalu saat semuanya sudah makan, baru dia menghampiri bapak yang sudah menyiapkan segenggaman jatahnya.
Jago namanya, yang mengenalkan kami sebuah rasa halus bernama cinta pada makhlukNya. Meski dia 'hanya' berwujud hewan.
Rasa itu datang dan pergi, dalam bentuk lain. Kucing domestik, ikan, hamster, kelinci,..Dan setiap kali mereka mati, selalu saja ada air mata.
Dan selama rentang waktu itu, favorit kami, terutama buatku, selain Jago--bapak dan ibuku tak kreatif menamainya--adalah Eran Prinsie.
Mereka istimewa karena kami bawa dari Pati saat berusia sekitar 3 bulan. Sudah mulai makan dry food. Diberi oleh mbak iparku nomor dua. Mereka menjadi makin istimewa ketika masku yang memberi Eran Prinsie meninggal Nopember setahun lalu.
Kucing temanku seumuran Prinsie sudah bereproduksi. Dan dia yang pemilih, kupikir mandul karena tak kunjung hamil juga. Hingga hampir dua bulan lalu aku curiga pada perut dan tanda2 lainnya.
Minggu, 16 Oktober jam 15.00 lahirlah Miko, anak pertama Prinsie di usianya yang keempat tahun. Normal, di bawah kursi beranda. Instingtif, tali pusar diputus dan plasenta dimakannya. Lalu disela kontraksi hendak melahirkan lagi, dia menjilati Miko, menempatkannya di area aman, sudut kamarku.
Malam itu, aku seolah menjaga seorang anak perempuan. Bukan hewan peliharaan.
Andai klinik buka, pasti kubawa dia sore itu juga. Untuk memastikan proses kelahiran saudara Miko. Prinsie malam sampai pagi menjelang kubawa ke dokter manja sekali. Tak mau sekalipun kutinggal. Malam aku tidur di sebelahnya di lantai, menggelar kasur. Tanganku mengelusnya, badanku menghadapnya. Capek, ganti posisi, dia akan mengeong protes.
Di klinik, dokter hewan memutuskan untuk mencoba induksi dulu. Jika masih tak bisa keluar normal, baru caesar.
Jam 3, aku ditelpon dokter, Prinsie harus caesar. Jam 16.30 aku ke klinik, datang pas dokter hampir selesai menutup bekas sc. Keempat kakinya masih terikat di meja operasi. Dan dia masih dalam pengaruh obat bius. Sentimentilku muncul demi melihat Prinsie harus caesar. Karena aku sendiri merasakan 2x SC; melahirkan Yasmin dan Ranu.
"Dia nggak mau makan dan minum, Bu," kata pegawai klinik. "Sama dokter dipaksa makan dan minumnya. Dia kucing yang pintar, sayang anak.. Dia bergerak kalau menyusui dan menjilati bayinya."
Ah, anakku sayang... aku bangga pada insting keibuannya. Di saat kucing yang lain, kutahu menelantarkan anak2nya, dia yang kesakitan paska operasi masih lebih peduli pada anaknya.
Menyambangi lagi keesokan hari, sengaja kubawakan dia makanan dari rumah, dan kusodorkan di tanganku. Sama seperti saat dia kecil dulu, mau makan di pangkuanku, dari tanganku. Juga minum susu.
4 hari berikutnya, kami tak berjumpa. Aku, suami, dan anak2 harus ke luar kota.
Senin aku datang, dia menyambutku dengan riang. Mengeong keras, bangkit di dalam kandang.
"Iya, kita pulang, Nak." Kataku. Melunasi biaya operasi dan menginapnya sebesar 1.570.000
Melihat Prinsie merawat Miko, sungguh aku terharu dan bangga. Cara kaki depannya memeluk Miko saat tidur atau sambil menjilati, sungguh seperti manusia memeluk bayinya.
Melihat dia mengawasi di sudut kamar ketika Miko belajar jalan, melihat dia 'menyuruh' Miko kembali ke kamar ketika bayi 2 minggu itu keluar dari zona aman, dan ketika dia justru mendukung dan mendampingi anaknya mengekplorasi ruangan lain.
Sayang, aku tak bisa lebih lama menyaksikan itu semua. Sore, kondisi Miko menjadi buruk. Nafasnya tersengal-sengal. Dia berkali-kali mengeong keras nampak kesakitan jelas. Dan Prinsie, ... aku tak tega menceritakan dan melihat lebih lama dia memeluk , menjilati Miko. Aku tahu ada yang salah pada Miko. dia sakit, dan harus segera dibawa ke dokter. Klinik kutelpon tak ada yang mengangkat. Kuperkirakan sudah tutup. Hujan deras sekali di luar. Sederas air mataku kehilangan Miko... Sederas waktu kami menemukan Jago tergeletak diantara nisan.
Sampai kutulis ini, Prinsie masih mencari anaknya yang sudah mati. Miko menyusul saudaranya yang mati di perut, yang harus dikeluarkan lewat caesar 4 minggu sebelumnya. Menjelang maghrib dia dikubur suamiku di bawah pohon rambutan halaman depan rumah kami. Bersama hewan-hewan peliharaan kami lainnya yang sudah mati sebelumnya.
Meski hanya 4 minggu, Miko dan Prinsie menunjukkan padaku pemandangan luar biasa tentang kasih sayang seekor induk pada anaknya. Semoga aku, sebagai ibu, bisa menjadi lebih baik dan bijak menjaga, mendorong, mengasuh anak. Seperti Prinsie terhadap Miko.